Friday, May 8, 2015

Amanah untuk Tomy Winata, Kepolisian, dan BIN

Political Risks


Integrity Risk
  • Walaupun memiliki Agustinus Prasetyoko (Kepala Ekonom Bank BTN), Tony Prasetiantono (Kepala PSKEP UGM), dan Faisal Basri (dosen FEUI yang protektif-rasionalis, calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen); KOMPAS gemar menyitir opini Didik J. Rachbini (Presiden Director INDEF, mantan calon Gubernur DKI Jakarta dari F-PAN), Ahmad Erani Yustika (Executive Director INDEF), dan Enny Sri Hartati (Director INDEF) yang kami ragukan mempunyai deep understanding atas Neraca Pembayaran Indonesia (Transaksi Berjalan, Transaksi Modal dan Finansial, dan seterusnya.)

Risks of Conflict of Interest

Opportunities

Honorable Comments

Closing
"Pandawa itu orang yang sudah baik. Tetapi kalau Kurawa itu orang yang sedang berproses menuju baik. Jadi, ga ada orang yang buruk. Dalam kehidupan ini, semua orang sedang mencoba menjadi baik...adalah tugas kita untuk membantu orang yang sedang berproses agar sisi baiknya lah yang akan muncul." - K.H. Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia tahun 1999-2001)

Hope and Prayer
Kalau Tomy Winata, Kepolisian, dan BIN itu influensial. Apa susahnya mereka melakukan hal yang baik untuk negeri ini?

Tuesday, August 19, 2014

Program Lama Masih Bercokol

362 Inisiatif Dicangkokkan di Nota Keuangan RAPBN 2015
(Selasa, 19 Agustus 2014)


JAKARTA, KOMPAS — Program inisiatif pemerintahan saat ini masih mendominasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. Beberapa program itu merupakan program populis. Presiden baru tak punya ruang gerak kecuali reformasi fiskal.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latief Adam, di Jakarta, Senin (18/8), menyatakan, anggaran yang bersifat dasar, sebagaimana janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa transisi, semestinya sebatas belanja mengikat dan rutin. Namun, faktanya, program-program inisiatif SBY masih ada dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015.

Selain itu, SBY juga masih ingin menorehkan program populis seperti kenaikan gaji dan uang makan pegawai negeri sipil dan TNI/Polri. Inisiatif ini semestinya diserahkan kepada pemerintah yang baru.

”Yang paling kelihatan adalah gaji PNS yang naik signifikan. Nuansa populis masih sangat kelihatan. Kenapa kenaikan itu tidak dilakukan pada anggaran kemiskinan dan infrastruktur misalnya,” kata Latief.

Reformasi fiskal, menurut Latif, paling mungkin dilakukan melalui revisi anggaran pada awal 2015. Revisi mesti bersifat terobosan.

Secara terpisah, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dolfie OFP, menyatakan, komitmen SBY untuk membuat RAPBN 2015 bersifat anggaran dasar guna menyediakan ruang gerak untuk pemerintah baru tidak terpenuhi. Bersifat anggaran dasar maksudnya adalah anggaran belanja hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

Belanja dalam RAPBN 2015, menurut Dolfie, seyogianya maksimal sama dengan target pendapatan yang senilai Rp 1.762 triliun. Dengan demikian, RAPBN 2015 tanpa defisit. Namun, defisit atau utang ternyata mencapai Rp 257,5 triliun atau 2,32 persen terhadap produk domestik bruto.

Dominan
Dolfie berpendapat, defisit tersebut disebabkan belanja program pemerintahan SBY masih dominan. Sedikitnya terdapat 362 program pemerintahan SBY dalam nota keuangan RAPBN 2015. ”Akibatnya, ruang fiskal untuk pemerintahan baru sangat kecil, bahkan hampir tidak ada,” ujarnya.

Defisit sebagaimana ditetapkan konstitusi maksimal 3 persen terhadap PDB. Defisit APBN biasanya dipatok maksimal 2,5 persen karena mengasumsikan defisit seluruh APBD mencapai 0,5 persen terhadap PDB. Jika defisit RAPBN 2015 sudah mencapai 2,32 persen, ruang fiskal hanya mungkin diperoleh dengan meningkatkan penerimaan, memotong belanja, atau utang lagi.

Ruang fiskal bagi pemerintahan baru, kata Dolfie, dapat diperoleh apabila dilakukan realokasi serta penajaman program kementerian dan lembaga negara di luar belanja pegawai. Dalam RAPBN 2015, belanja kementerian dan lembaga negara mencapai Rp 600 triliun. Belanja pegawai diperkirakan Rp 323 triliun.

”Realokasi ini dapat dilakukan apabila ada kemauan politik dari pemerintahan SBY untuk memberikan kesempatan dalam pembahasan RAPBN di DPR untuk dilakukan realokasi program sesuai dengan kebijakan pemerintahan baru. Tanpa kemauan politik, pemerintahan baru tidak akan dapat bekerja optimal pada tahun anggaran 2015 yang telah menjadi tanggung jawabnya,” kata Dolfie.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sejumlah program inisiatif SBY masih dipertahankan. Program tersebut, antara lain, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dan program kucuran dana awal untuk 3.400 wirausaha pemula.

Seusai mengikuti penyampaian nota keuangan RAPBN 2015 pada Rapat Paripurna DPR, Jumat (15/8), Joko Widodo, selaku presiden terpilih sesuai ketetapan Komisi Pemilihan Umum, menyatakan harapannya agar program prioritasnya bisa langsung dikerjakan setelah dilantik. Program prioritas itu antara lain di bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian.

Karena itu, ia berjanji akan melakukan reformasi fiskal. Reformasi itu menyangkut aspek penerimaan dan belanja. Dari aspek penerimaan, ia berjanji akan secepatnya meningkatkan pendapatan agar ruang fiskal yang saat ini sempit menjadi lebih lebar.

Dari aspek belanja, Jokowi berniat memotong anggaran subsidi energi secara bertahap. Ia juga akan mengefisienkan anggaran di setiap instansi pemerintah yang boros. (LAS)

Friday, September 2, 2011

An Explanation of the Workings of Neo-Colonialism Through the Example of Indonesia

By: Idries De Vries

The reality of colonialism, its goals and its methods, is well-known by most people. During colonial times the European countries used brute military force to subjugate peoples in usually faraway lands, predominantly Asia and Africa, and then organized these lands for the purpose of exploitation. The role of the colonized land became to provide cheap raw materials to the industries of the colonial nation, and to serve as a market for the end products of these industries.

The era of colonialism ended during the 1960’s, as in the West the view that colonialism was morally unacceptable became public opinion and as in the colonized lands resistance against the foreign occupiers strengthened. Independence followed for most of the colonized nations.

Ever since, however, not much has changed for most people in the formerly colonized world. They have remained poor as the wealth of their lands has continued to flow towards the West, instead of towards them.

Therefore today most people in the formerly colonized world realize that “independence” has merely meant the substitution of colonialism for what is now known as neo-colonialism. Under colonialism they had been physically occupied for the purpose of exploitation. Independence had removed the physically occupation, but the exploitation remained – neo-colonialism.

So that neo-colonialism exists is clear to most people, because it can be seen and felt around the formerly colonized world. But how exactly neo-colonialism works, how the West can maintain exploitation of the formerly colonized world without a physical occupation remains a mystery to many. An analysis of the post-colonial history of Indonesia provides important insight into this matter.

“Independence” for Indonesia
Resource rich, the lands of South-East Asia became a target for the Europeans as soon as they realized their existence. Great-Britain ended up occupying what is today Malaysia and Singapore. The lands that make up the Philippines went from the Dutch to the British to the Spaniards before ending up in the hands of the Americans. And Indonesia consists of the lands that remained occupied by the Dutch throughout the era of colonialism.

World War II saw The Netherlands coming under the control of Germany (1940 – 1945) and its colony Indonesia coming under the control of the Japanese (1942 – 1945). This greatly helped the Indonesian nationalist movement headed by Sukarno and Mohammed Hatta, as the Japanese saw for Indonesia a future as a client-state in the then still to be formed Japanese Empire in South-East Asia. The Japanese therefore actively supported the nationalist movement on the main Indonesian island of Java, to the extent that they even provided military training to Indonesian youth in preparation of a national army for Indonesia.

The eventual Japanese surrender in World War II on, August 15 of 1945, caused a temporary power vacuum in Indonesia because at that time the Dutch, who had been liberated from German occupation on May 5 of 1945, had not yet reorganized their colonial occupation of Indonesia. Sukarno and Hatta set out to make use of this power vacuum. They quickly organized the preparation of a Declaration of Independence on the day following the Japanese surrender. And then had this read out loud on August 17, marking Indonesia’s claim to independence.

But the Dutch had different plans for Indonesia. The Dutch economy was thoroughly destroyed by the war and the plan was to exploit Indonesia as much as possible in order to pay for the recovery. So the Dutch organized an army and sent it to Indonesia to suppress the independence movement.

But the war between the Dutch and the Indonesian freedom fighters dragged on, without any side developing a clear advantage over the other. Until, one day, the Americans intervened. Under the Marshall plan the Dutch were receiving large loans from America to finance the post-war restoration of the country. America therefore threatened the Dutch that unless they halted their efforts to bring Indonesia back under their control, the Marshall aid would be stopped 
[1]. This left the Dutch with no choice but to accept Indonesian independence. And following long negotiations, in 1949 the Dutch finally recognized Indonesia’s independence.

Indonesia’s post-Independence economic history – the Sukarno era
Economically, Indonesia was in a poor state following independence. For one, during colonialism the Dutch had systematically under-invested in the Indonesian economy. Because the aim of the Dutch was never to develop Indonesia but to exploit it, so any Dutch investment in Indonesia was to make this exploitation more efficient and effective. By the start of World War II in 1940, Indonesia had still seen only very little industrialization. World War II took an additional toll on Indonesia’s economy, and as a consequence by 1945 average Indonesian income is estimated to have been not much more than 100 USD annualy [2].

The Americans then placed an additional burden on Indonesia when, as part of the terms of the Round Table agreement between Indonesia and Dutch which the Americans brokered, they forced it to pay the Dutch for independence – 4.3 billion guilders to be exact, and using the gold price as a base this is worth around 150 billion in today’s dollars 
[3].In addition, the terms of the Round Table agreement stipulated that the Dutch would maintain control over all “modern” sections of Indonesia’s economy, such as industry, mining, plantations, finance and banking, and large scale international trade [4]. This caused the establishment of a “dual economy” in Indonesia, in which the Dutch and Chinese Indonesians controlled the most important and profitable sectors of the economy, with little to no participation of other Indonesians. The new Indonesian government controlled only small scale farming and handcraft, which, due to the usage of outdated modes of production, was barely profitable [5]. Little to no change compared to the times of colonialism, therefore.

In the immediate aftermath of independence one of the main goals of the economic policy of the new Indonesian state was to address this issue and “Indonesianize” the nation’s economy. But because there was no clear understanding of how this was to be achieved, most attempts at it failed. Most of the time because proposed and executed plans turned out to be bad ideas. But very often also because of government incompetence and corruption – how a familiar story.

So by the late 1950’s, little to nothing of this Indonesianization was achieved. Indonesia had only became more indebted internationally, as foreigners doing business in Indonesia avoided paying taxes and the native Indonesians were too poor to pay tax. This caused the Indonesian economy to remain in shambles throughout the 1950’s, with inflation running as high as 30% annually. In the 1960’s things got even worse, as hyperinflation appeared destroying whatever was left of the national economy 
[6].

This failure to achieve any improvement in the economic situation of Indonesia in the first decade following colonialism had two important consequences. Firstly, it turned political attention away from a liberal, capitalist oriented economic development program to plans more inspired by communism / socialism. For instance, following the examples set by the Soviet Union and China, in 1955 Indonesia too presented a “five year plan”. Secondly, it motivated the Indonesian government to confiscate and nationalize foreign interests in Indonesia. Starting in 1957 Dutch interests in Indonesia were seized and nationalized. Starting in 1963 British firms were nationalized. And starting in 1964 American firms as well. Ultimately, in 1965 foreign investment in Indonesia was completely disallowed with the repeal of the Foreign Investment Law of 1958. The ultimate consequences of these steps remain with us today.

Indonesia’s post-Independence economic history – the Suharto era
This was too much to bear for the Americans. During the height of the Cold War Indonesia’s flirt with communism could not be accepted, and neither could the seizure of American firms. So they began organizing “change” in Indonesia.

Neville Maxwell, a Senior Research Officer of the Institute of Commonwealth Studies, Oxford University, had the following to say on what happened: “A few years ago I was researching in Pakistan into the diplomatic background of the 1965 Indo-Pakistan conflict, and in foreign ministry papers to which I had been given access came across a letter to the then foreign minister, Mr. Bhutto, from one of his ambassadors in Europe (I believe Mr. J.A. Rahim, in Paris) reporting a conversation with a Dutch intelligence officer with NATO. According to my note of that letter, the officer had remarked to the Pakistani diplomat that Indonesia was ‘ready to fall into the Western lap like a rotten apple’. Western intelligence agencies, he said, would organize a ‘premature communist coup … [which would be] foredoomed to fail, providing a legitimate and welcome opportunity to the army to crush the communists and make Sukarno a prisoner of the army’s goodwill’. The ambassador’s report was dated December 1964.” 
[7]

Tim Weiner in his Pulitzer price winning book “Legacy of Ashes: The history of the CIA” explains how this plan was organized: “(The CIA) had precisely one well-situated agent: Adam Malik, a fortyeight-year- old disillusioned ex-Marxist who had served as Sukarno’s ambassador to Moscow and his minister of trade. After a permanent falling-out with his president in 1964, Malik had met up with the CIA’s Clyde McAvoy at a Jakarta safe house. (…) ‘I recruited and ran Adam Malik’, McAvoy said in an interview in 2005. ‘He was the highest-ranking Indonesian we ever recruited’. (…) Then, in a few terrifying weeks in October 1965, the Indonesian state split in two. The CIA worked to consolidate a shadow government, a troika composed of Adam Malik, the ruling sultan of central Java, and an army major general named Suharto. Malik used his relationship with the CIA to set up a series of secret meetings with the new American ambassador in Indonesia , Marshall Green. The ambassador said he met Adam Malik ‘in a clandestine setting’ and obtained ‘a very clear idea of what Suharto thought and what Malik thought and what they were proposing to do’ to rid Indonesia of communism through the new political movement they led, the Kap-Gestapu. ‘I ordered that all 14 of the walkie-talkies we had in the Embassy for emergency communications be handed over to Suharto’, Ambassador Green said. ‘This provided additional internal security for him and his own top officers’ – and a way for the CIA to monitor what they were doing.”

General Suharto then sent his soldiers to arrest the leaders of the Indonesian Army, and had them killed. He blamed the killing on the communists in Indonesia, and used this as an excuse to eventually push aside president Suharto and take power for himself. He then proceeded with killing Indonesian communist leaders using a list of names provided by the American embassy 
[8], as well as hundreds of thousands of other suspected communists throughout Indonesia. Ambassador Green later told then American Vice President Hubert H. Humphrey that “300,000 to 400,000 people were slain” in “a blood bath”  [9]. And speaking in Australia in 1973 he said: “What we did we had to do, and you’d better be glad we did because if we hadn’t Asia would be a different place today”. [10]

One of the first acts of general Suharto following his grab of power was to send a team of economists to a conference held in Geneva, Switzerland, named “Indonesian Investment Conference: To aid in the rebuilding of a nation”. The conference was organized by Time Life Corporation of America and, in addition to the Indonesian economists, was attended by representatives of mostly American multinational corporations. Professor Jeffrey Winters of Northwestern University in Chicago studied the conference papers and described the proceedings at the conference in the following manner: “They divided up into five different sections: mining in one room, services in another, light industry in another, banking and finance in another. And what Chase Manhattan did was sit with a delegation and hammer out policies that were going to be acceptable to them and other investors. You had these big corporate people going round the table, saying ‘this is what we need: this, this and this’; and they basically designed the legal infrastructure for investment in Indonesia. I’ve never heard of a situation like this where global capital sits down with the representatives of a supposedly sovereign state and hammers out the conditions of their own entry into that country.” 
[11] In 1967 the demands of international business were translated into law by Suharto through the passing of the “Law regarding Foreign Investment”.

Indonesia’s post-Independence economic history – the “Reformasi” era
Suharto ruled Indonesia with an iron fist until in 1998 America decided it was time for “democratic change”.
Ever since the situation has only worsened for Indonesia. In 2007 the democratically elected government of Indonesia adjusted Suharto’s “Law regarding Foreign Investment” from 1967 by lowering income tax on earnings from Foreign Investment in Indonesia, exempting Foreign Investment in Indonesia from VAT, and extending the maximum term on land leases (very important in mining and oil & gas operations) from 70 to 95 years.

In 2010, eventually, the democratically elected government of Indonesia introduced a completely new legislation for Foreign Investment in Indonesia replacing the 1967 law, regarding which the American government had the following to say: “An updated Overseas Private Investment Corporation investment agreement that better serves the needs of U.S. businesses was signed [with Indonesia] in April 2010. This agreement replaced a 1967 agreement” 
[12].

Since 1967, in other words, America has consistently been writing the Indonesian laws regarding Foreign Investment in Indonesia, ensuring it meets her interests perfectly.

The outcome – America’s benefit, Indonesia’s loss
Although it is well known that Indonesia is “resource rich”, the massiveness of the Indonesian mineral wealth is often underestimated. The country produces close to 1 million barrels of oil per day; around 72,000 million cubic meters of natural gas per year; around 360 million short tons of coal per year; around 65,000 kilos of gold per year; around 610,000 metric tons of copper per year; and around 200,000 metric tons of nickel per year.

Mineral
Unit of Measure
Quantity
Price
Value
Oil
barrels per day
946,090
$80
$27,625,828,000
Gas
cubic meter
72,406,000,000
$0.50
$36,203,000,000
Coal
short ton
332,372,000
$60
$19,942,320,000
Gold
kilogram
65,000
$39,000
$2,535,000,000
Copper
metric ton
610,000
$7,700
$4,697,000,000
Nickel
metric ton
202,800
$20,900
$4,238,520,000
Total
$95,241,668,000

Using 2010 average prices, on international markets this is worth no less than $95 billion. The oil production is worth around $27 billion per year; the natural gas production is worth around $36 billion per year; the coal production is worth around $20 billion per year; the gold production is worth around $2.6 billion per year; the copper production is worth around $5 billion per year; and the nickel production is worth around $4 billion per year.

A review of the Indonesian State Budget for 2010 makes clear that only a small part of this massive amount of wealth ends up at the disposal of the Indonesian government. In the 2010 budget taxes on oil & gas industry, levies on oil & gas, levies on mining and the income from state owned enterprises totals just Rp171 trillion, namely, or $19 billion. This is less than 20% of the mineral wealth produced.

2010 Indonesian State Budget
Taxes on oil & gas industry
Rp39,883
$4,532,125,000
Levies on oil
Rp75,646
$8,596,113,636
Levies on gas
Rp25,614
$2,910,625,000
Levies on mining
Rp7,116
$808,590,909
Income from state owned companies
Rp23,005
$2,614,204,545
Total
Rp171,263
$19,461,659,091

The remaining $76 billion is pocketed by foreign companies, most of whom American. This is roughly 8% of 2010 Indonesian GDP. Repatriation of profits resulting from Foreign Investment in Indonesia is also tax free, it must be noted.

Industry
Main players
Oil
Texaco (US), Chevron (US), Total (France), CNOOC (China)
Gas
ExxonMobil (US), HUFFCO Group (US), Total (France)
Coal
Bakrie Group (Indonesia)
Gold
Freeport (US), Newmont (US), Aurora Gold (Australia)
Copper
Freeport (US), Newmont (US)
Nickel
Inco (Canada), Sumitomo Metal Mining (Japan)

Contemporary economic research into colonialism indicates that during the height of British rule over India, the British “drained” around 1% of Indian GDP and repatriated it back home. The Dutch drained between 8 – 10% of Indonesian GDP 
[13]. These figures make clear that from an economic perspective at least, independence has failed to achieve any meaningful improvement to the situation of Indonesia. Economically, Indonesia is as if colonized still.

Idries De Vries is an international management consultant, and an international speaker and author of several publications on geopolitical, economic and Islamic affairs. He is also a guest contributor for New Civilisation.
The views expressed in this article are the author’s own and do not necessarily reflect New Civilisation’s editorial policy.



[1] “Background Note: Indonesia”, U.S. Bureau of State – Bureau of East Asian and Pacific Affairs, www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2748.htm.
[2] “Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s”, William A. Redfern, http://deepblue.lib.umich.edu/handle/2027.42/77846.
[3] See: www.en.wikipedia.org/wiki/Dutch%E2%80%93Indonesian_Round_Table_Conference. In 1949 a troy ounce of gold was worth 31.69 USD. Today it is worth around 1,600 USD, a difference of a factor 50.
[4] Ibidem note 2.
[5] Ibidem note 2.
[6] Ibidem note 2.
[7] “Killing Hope: US Military and CIA interventions since World War II”, William Blum.
[8] “Legacy of Ashes: The history of the CIA”, Tim Weiner.
[9] Ibidem note 8.
[10] Ibidem note 7.
[11] “The New Rulers of the World”, John Pilger.

Monday, November 17, 2008

SIAPA SEBENARNYA SOEHARTO?

PENDAHULUAN

Bulan November 1967, Letnan Jenderal Soeharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim Menteri Luar Negeri Adam Malik, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sultan Hamengkubuwono IX, Pendiri Partai Partai Soska Indonesia Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, dan satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Widjojo Nitisastro, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan "To Aid in the Rebuilding of a Nation" dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin David Rockefeller (presiden Chase Manhattan Bank dan anak pelopor bisnis minyak dunia dan pendiri kerajaan minyak Standard Oil yang lantas melahirkan perusahaan raksasa minyak Exxon dan Chevron, John D. Rockefeller, Jr.)

Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa diunduh di situs Youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Soeharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeller cs. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.

Sampai detik ini, saat Soeharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Soeharto adalah dalang dari semua ini.

Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Soeharto berkuasa selama lebih kurang 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Soeharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.

Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Soeharto . Agar setidaknya, mereka yang menganggap Soeharto  layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Soeharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Soeharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Soeharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.

Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Soeharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, “Biar Soeharto punya salah, tapi dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Soeharto berjasa besar dalam membangun negara ini!”

Atau tidak ada lagi orang yang berkata, “Zaman Soeharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita kembali ke masa Soeharto…” Hanya orang-orang Soehartois lah, yang mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.


SIAPA SEBENARNYA SOEHARTO?
Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga petani yang menganut kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karirnya diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.

Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. Saat Jepang masuk di tahun 1942, Soeharto bergabung dengan PETA. Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan TKR.

Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Soeharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ (1979) yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Soeharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat biografi Sultan Hamengkubuwono IX).

Pada 1959, Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution dengan tidak hormat karena Soeharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Soeharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan prusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah agen ganda. Pada 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung, dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.

Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini. Chow bukan saja membina WNI Cina di Jawa Tengah dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Soeharto; Eros Djarot; 2006).

Nasution kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Soeharto dari AD dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Soeharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SeSKoAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Soeharto dan di kemudian hari mencoret nama Soeharto dari daftar peserta pelatihan di SeSKoAD, yang mana hal ini membuat Soeharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.

Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Soeharto. Pranoto, sang perwira 'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Soeharto kepada para konglomerat hitam untuk kepentingan pribadinya.Soeharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.

Di SeSKoAD, Soeharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Soeharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.

Atas kejadian itu Soeharto sangat marah. Bertambah lagi dendam Soeharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh Soeharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target pembunuhan, sedangkan Soeharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD tidak masuk dalam daftar kematian.

Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf AD, namun Pranoto dijegal oleh Soeharto sehingga Soeharto lah yang mengambil-alih kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perang saudara—karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah untuk berada di belakang Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Soeharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka Soekarno melantik Soeharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965.

Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.

Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto, Jenderal Soeharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Soeharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yang fair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.

Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Soeharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara. Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan’ bagi kejayaan imperialisme Barat.

Benar saja, November 1967, Jenderal Soeharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para 'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Bradley Robert Simpson dari Northwestern University AS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters, Ph.D diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam film "The New Rulers of The World", mengutip Sampson dan menulis:

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.

Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”

Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.

“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”


“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.

Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Oleh Soeharto, rakyat dijejali dengan propaganda pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi di lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis yang dilakukan rezim Soeharto.

Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.

November 1967, Soeharto mengirim tim ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal Soeharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.

“Indonesia Baru” yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerja sama dengan AS.

Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.

Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Soeharto adalah murid dari Soewarto di SeSKoAD.

Di SeSKoAD inilah para intelektual binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antaranya Emil Salim.

Jenderal Soeharto membentuk *Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rezim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”

Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Soeharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.

Juni 1968, Jenderal Soeharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.

Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.

Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.

Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan.

Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita) didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat.

Inti pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Besar Soeharto adalah berubahnya prinsip pembangunan ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan. April 1966 Soeharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: “Go to hell with your aid!”

Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).

Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Soeharto dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.

Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai tameng penjaga status-quo. Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partai-partai politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. “Pada Februari 1970, pemerintah mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinan bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar,” demikian Ricklefs.

Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor Gubernur Jawa Barat, 9 Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari kian dianggap represif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah ABRI terhadap hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah seragam sama dengan karcis kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI? Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan hukum?” (François Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).

Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar Soeharto terjadi perebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan ‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani.”

Soeharto memang seorang pemimpin yang sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya guna memperkuat posisinya sendiri. Dengan dukungan penuh terutama dari militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh Soeharto, yakni membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap sebagai Anti Pancasila. Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada kekuatan sipil yang berarti yang mampu menentang Soeharto. Bayang-bayang pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Soeharto pada akhir 1965 sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.

Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan oleh Soeharto, dan digantikan dengan Exploitation de L’homee par L’homee, eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut digaris-bawahi jika eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak aneh jika sekarang ada yang berterus terang jika Soeharto adalah gurunya.

Catatan hitam tentang Soeharto tidak berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM) misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler, Italia di bawah Mussolini, Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan Indonesianis asal Perancis, Francois Raillon.

Bahkan M.C. Ricklefs, sejarawan Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Soeharto jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. “Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan Soeharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,” tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.

Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan satu-persatu “prestasi” rezim Soeharto dalam penegakan hak asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.


KEJAHATAN SOEHARTO
Catatan atas kejahatan HAM rezim Soeharto akan dimulai dari wilayah paling barat negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Soeharto. Bahkan di zaman Jenderal Soeharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial, sebab itu NAD juga disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—malah dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.

NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Soeharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.

Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983, Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.

Soeharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.

Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam Bukunya yang berjudul "The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992" menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Soeharto di Aceh.

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”

Di bawah rezim Soeharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Soeharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Soeharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Soeharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.

Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Soeharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Soeharto di Aceh.

Ted Robert Gurr dalam “Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Soeharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Soeharto serendah-rendahnya.

Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, “Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang Pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.”

Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Soeharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Soeharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Soeharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”

Kami pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.

Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Soeharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Soeharto.

Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Soeharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.

Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.

Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.

Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.

“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.

Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Soeharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Soeharto dan dibuang ke jurang.

Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Soeharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.

Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Soeharto.

Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Soeharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh.