Monday, November 17, 2008

SIAPA SEBENARNYA SOEHARTO?

PENDAHULUAN

Bulan November 1967, Letnan Jenderal Soeharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim Menteri Luar Negeri Adam Malik, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sultan Hamengkubuwono IX, Pendiri Partai Partai Soska Indonesia Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, dan satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Widjojo Nitisastro, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan "To Aid in the Rebuilding of a Nation" dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin David Rockefeller (presiden Chase Manhattan Bank dan anak pelopor bisnis minyak dunia dan pendiri kerajaan minyak Standard Oil yang lantas melahirkan perusahaan raksasa minyak Exxon dan Chevron, John D. Rockefeller, Jr.)

Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa diunduh di situs Youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Soeharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeller cs. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.

Sampai detik ini, saat Soeharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Soeharto adalah dalang dari semua ini.

Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Soeharto berkuasa selama lebih kurang 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Soeharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.

Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Soeharto . Agar setidaknya, mereka yang menganggap Soeharto  layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.

Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Soeharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Soeharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Soeharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.

Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Soeharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, “Biar Soeharto punya salah, tapi dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Soeharto berjasa besar dalam membangun negara ini!”

Atau tidak ada lagi orang yang berkata, “Zaman Soeharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita kembali ke masa Soeharto…” Hanya orang-orang Soehartois lah, yang mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.


SIAPA SEBENARNYA SOEHARTO?
Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga petani yang menganut kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karirnya diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.

Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. Saat Jepang masuk di tahun 1942, Soeharto bergabung dengan PETA. Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan TKR.

Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Soeharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ (1979) yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Soeharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat biografi Sultan Hamengkubuwono IX).

Pada 1959, Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution dengan tidak hormat karena Soeharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Soeharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan prusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah agen ganda. Pada 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung, dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.

Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini. Chow bukan saja membina WNI Cina di Jawa Tengah dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Soeharto; Eros Djarot; 2006).

Nasution kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Soeharto dari AD dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Soeharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SeSKoAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Soeharto dan di kemudian hari mencoret nama Soeharto dari daftar peserta pelatihan di SeSKoAD, yang mana hal ini membuat Soeharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.

Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Soeharto. Pranoto, sang perwira 'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Soeharto kepada para konglomerat hitam untuk kepentingan pribadinya.Soeharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.

Di SeSKoAD, Soeharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Soeharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.

Atas kejadian itu Soeharto sangat marah. Bertambah lagi dendam Soeharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh Soeharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target pembunuhan, sedangkan Soeharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD tidak masuk dalam daftar kematian.

Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf AD, namun Pranoto dijegal oleh Soeharto sehingga Soeharto lah yang mengambil-alih kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perang saudara—karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah untuk berada di belakang Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Soeharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka Soekarno melantik Soeharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965.

Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.

Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto, Jenderal Soeharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Soeharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yang fair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.

Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Soeharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara. Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan’ bagi kejayaan imperialisme Barat.

Benar saja, November 1967, Jenderal Soeharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para 'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Bradley Robert Simpson dari Northwestern University AS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters, Ph.D diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam film "The New Rulers of The World", mengutip Sampson dan menulis:

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.

Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”

Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.

“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”


“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.

Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Oleh Soeharto, rakyat dijejali dengan propaganda pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi di lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis yang dilakukan rezim Soeharto.

Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.

November 1967, Soeharto mengirim tim ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal Soeharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.

“Indonesia Baru” yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerja sama dengan AS.

Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.

Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Soeharto adalah murid dari Soewarto di SeSKoAD.

Di SeSKoAD inilah para intelektual binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antaranya Emil Salim.

Jenderal Soeharto membentuk *Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rezim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”

Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Soeharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.

Juni 1968, Jenderal Soeharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.

Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.

Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.

Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan.

Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita) didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat.

Inti pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Besar Soeharto adalah berubahnya prinsip pembangunan ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan. April 1966 Soeharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: “Go to hell with your aid!”

Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).

Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Soeharto dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.

Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai tameng penjaga status-quo. Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partai-partai politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. “Pada Februari 1970, pemerintah mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinan bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar,” demikian Ricklefs.

Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor Gubernur Jawa Barat, 9 Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari kian dianggap represif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah ABRI terhadap hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah seragam sama dengan karcis kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI? Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan hukum?” (François Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).

Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar Soeharto terjadi perebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan ‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani.”

Soeharto memang seorang pemimpin yang sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya guna memperkuat posisinya sendiri. Dengan dukungan penuh terutama dari militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh Soeharto, yakni membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap sebagai Anti Pancasila. Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada kekuatan sipil yang berarti yang mampu menentang Soeharto. Bayang-bayang pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Soeharto pada akhir 1965 sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.

Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan oleh Soeharto, dan digantikan dengan Exploitation de L’homee par L’homee, eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut digaris-bawahi jika eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak aneh jika sekarang ada yang berterus terang jika Soeharto adalah gurunya.

Catatan hitam tentang Soeharto tidak berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM) misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler, Italia di bawah Mussolini, Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan Indonesianis asal Perancis, Francois Raillon.

Bahkan M.C. Ricklefs, sejarawan Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Soeharto jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. “Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan Soeharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,” tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.

Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan satu-persatu “prestasi” rezim Soeharto dalam penegakan hak asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.


KEJAHATAN SOEHARTO
Catatan atas kejahatan HAM rezim Soeharto akan dimulai dari wilayah paling barat negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Soeharto. Bahkan di zaman Jenderal Soeharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial, sebab itu NAD juga disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—malah dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.

NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh Soeharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.

Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983, Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.

Soeharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.

Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam Bukunya yang berjudul "The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992" menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu “hasil” pembangunan rezim Soeharto di Aceh.

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”

Di bawah rezim Soeharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Soeharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Soeharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Soeharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.

Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Soeharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Soeharto di Aceh.

Ted Robert Gurr dalam “Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?” Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Soeharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Soeharto serendah-rendahnya.

Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, “Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang Pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.”

Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Soeharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Soeharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Soeharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”

Kami pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.

Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Soeharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Soeharto.

Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Soeharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.

Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.

Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.

Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.

“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.

Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Soeharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Soeharto dan dibuang ke jurang.

Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Soeharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.

Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Soeharto.

Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Soeharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh.

Thursday, April 24, 2008

Pidato Dr. Rizal Ramli, Ph.D: Menentukan Jalan Baru Indonesia (24 April 2008)

RIZAL RAMLI kini berstatus tersangka. Ia dituduh menghasut dan menyebarkan kebencian yang menyulut kerusuhan pada tanggal 24 Juni 2008 lalu, beberapa saat setelah DPR setuju membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kenaikan harga BBM dan tata niaga BBM. 

Hasutan itu, menurut Bareskrim Mabes Polri yang tengah menangani kasus ini, disampaikan Rizal Ramli dalam pidatonya di depan aktivis pergerakan mahasiswa tanggal 24 April 2008 di Wisma PKBI. 

Apakah benar Rizal Ramli menghasut? 

Berikut ini adalah bagian pertama dari pidato Rizal Ramli yang telah dibukusakukan  itu. Judul asli pidato ini adalah: Menentukan Jalan Baru Indonesia. 

Selamat membaca!



MENENTUKAN JALAN BARU INDONESIA

Dr. Rizal Ramli, Ph.D

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Menteri Keuangan RI pada Kabinet Persatuan Nasional (Presiden Abdurrahman Wahid)


Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Salam sejahtera dan selamat pagi.

Saya ucapkan selamat datang kepada tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Saya memahami di sini hadir teman-teman dari Jawa Timur, Jawa Barat, Bandung, Garut, Tasik, Jawa Tengah. Juga hadir, teman-teman wakil dari petani, pemuda, dan aktivis pergerakan.

Saudara-saudara, tahun ini adalah “100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang dimulai sejak 1908. Tahun ini juga 63 tahun usia kemerdekaan kita, dan 10 tahun reformasi. Tetapi mayoritas rakyat kita, saya bicara 80 persen yang paling bawah, belum pernah bangkit sama sekali. Belum pernah menikmati kebangkitan dan kesejahteraan. Belum bisa hidup nyaman. Justru saat ini, kehidupan bangsa kita sangat-sangat sulit sekali.

Kalau sepuluh tahun yang lalu, krisis ekonomi dan moneter, awal reformasi, yang terpukul adalah bisnis-bisnis besar dan para profesional, karena mereka banyak mengutang dalam mata uang US Dollar. Pada waktu itu ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah (UKM), justru menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional.

Tetapi sepuluh tahun kemudian, saat ini, konglomerat, para pebisnis besar dan para profesional sudah kembali kokoh. Bahkan ada yang lebih kokoh dibanding sepuluh tahun yang lalu. Tetapi krisis yang sekarang ini, justru mayoritas ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah yang yang paling terpukul.

Kami baru kembali dari perjalanan terus-menerus ke berbagai daerah. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, ternyata penjualan usaha kecil dan menengah itu anjlok sampai sekitar 40 persen. Daya beli masyarakat kita sungguh terpukul. Jadi boro-boro lebih baik, setelah sepuluh tahun reformasi, kehidupan justru semakin sulit.

Tentu ada pertanyaan mendasar: Mengapa setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, setelah 63 tahun merdeka, dan 10 tahun reformasi, kok mayoritas rakyat kita tidak dapat apa-apa?

Nah, saudara-saudara sekalian, ternyata proses reformasi itu telah dibajak oleh kekuatan-kekuatan lama, kekuatan yang memiliki uang, yang akhirnya membelokkan arah reformasi itu. Reformasi juga telah dibajak oleh pikiran-pikiran lama. Sehingga walau pun ada perubahan politik dari otoriter ke demokrasi, walau pun sudah ada perubahan presiden, partai politik dan sebagainya, tetapi jalan yang dipakai dalam bidang ekonomi masih ”jalan lama”, jalan yang telah 40 tahun terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Sudah tentu, kalau kita melihat perbandingan Orde Baru dan Orde Lama, memang ada sedikit kemajuan di bidang ekonomi. Di zaman Bung Karno, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 3 persen. Sedangkan pada zaman Suharto (mertua Prabowo Subianto) ekonomi kita rata-rata tumbuh 6,5 persen. Ada kenaikan 3,5 persen rata-rata dari Sukarno ke Suharto. Tetapi biaya rezim Suharto untuk menaikan pertumbuhan ekonomi yang 3,5 persen itu sangat mahal.

Suharto meninggalkan hutang luar negeri US$ 150 Milyar. Pemerintah Orba juga menggunduli hutan. Tadinya hutan kita itu masih hijau pada awal Orba berkuasa. Sekarang itu kira-kira tinggal sepertiganya yang hijau. Nilai hutan yang digunduli itu paling tidak US$ 100 milyar. Belum dari tambang dan lain-lain, yang nilainya minimum US$ 140 Milyar. Jadi biaya untuk kenaikan yang 3,5 persen itu, total Orde Baru menghabiskan sekitar US$ 400 Milyar. Hasilnya apa?

Hasilnya, ekonomi Indonesia dikendalikan hanya oleh 400 keluarga yang menguasai ribuan perusahaan. Mayoritas rakyatnya hidup pas-pasan saja, dan kalau kita lihat struktur ekonominya, persis seperti gelas anggur ini.

Ya, jadi yang di atas ini usaha-usaha besar dan BUMN yang tidak efisien, kemudian pegangannya ini, yang kecil sekali, menjelaskan tidak adanya usaha skala menengah. Tidak ada golongan menengah yang kuat. Kemudian sisanya yang di bawah, adalah jutaan usaha kecil ekonomi rakyat. Jadi struktur seperti gelas anggur ini sama sekali tidak adil, dan juga tidak baik untuk demokrasi karena labil.

Struktur yang ideal itu adalah strukturnya seperti piramida. Struktur seperti piramida ada yang besar yang efisien, ada golongan menengah yang kuat, ada usaha kecil dan ekonomi rakyat yang juga efisien.

Nah, struktur “ekonomi gelas anggur” itulah hasil dari jalan lama yang dianut oleh Orba dan dilanjutkan oleh pemerintah saat ini. Itulah struktur (ekonomi) yang membuat mereka (konglomerat) itu besar karena dapat macam-macam fasilitas. Dulu dapat hak monopoli, dikasih kredit berbunga murah, dapat perlindungan tarif, dapat kuota, dan sebagainya. Jadi, negara itu justru membantu yang kuat karena mereka yang mampu (memberikan upeti). Sementara golongan menengah ke bawah nyaris tidak ada sama sekali. Padahal yang paling bawah, yang menjadi landasan dasarnya itu, terdiri dari jutaan usaha kecil dan menengah, ekonomi rakyat.

Kalau ditanya untungnya, golongan ekonomi menengah ke bawah ini nyaris tidak ada sama sekali. Jadi mereka yang terdiri dari jutaan usaha kecil dan ekonomi rakyat itu, kalau ditanya untungnya berapa, rata-rata untungnya sangat rendah, kurang dari 5 persen. Itu pun karena tenaga sendiri, tenaga keluarganya yang bekerja, biasanya tidak dihitung, tidak dibayar. Kalau dihitung tenaga mereka dan keluarganya, ini sebetulnya tingkat keuntungannya negatif. Karena itu, banyak yang makan modal.

Nah, sistem ekonomi yang seperti ini sungguh tidak adil. Karena secara tidak langsung kelompok ekonomi menengah ke bawah ini menyubsidi yang di atas, yang besar. Itulah salah satu penyebab mengapa mayoritas dari bangsa kita belum menikmati hasil yang optimal.

Di negara-negara lain seperti Korea, juga Jepang, yang besarnya itu bukan jago kandang, tapi jago di pasar internasional. Produk-produk mereka bisa diekspor sehingga nilai tambahnya itu dari luar negeri dan dibawa masuk untuk menciptakan tambahan lapangan kerja di dalam negeri.

Menurut kami, struktur (ekonomi gelas anggur) inilah yang harus kita ubah. Struktur yang bagaikan gelas anggur ini yang harus kita ubah menjadi struktur piramida. Dengan begitu semua potensi rakyat Indonesia bisa dibalikkan menjadi nilai tambah, dan menciptakan kesejahteraan. Sayangnya, pemerintah Yudhoyono ini adalah pemerintah ”Orba bungkus baru”, dengan kepemimpinan yang tidak efektif. Kepemimpinannya lemah sekali.

Jadi apa gunanya kita melakukan perubahan dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis? Apa gunanya reformasi kalau yang terjadi ternyata ini masih obat lama, ”jalan lama” yang dibungkus dengan kepemimpinan yang lemah sekali.

Saudara-saudara, itu kalau kita lihat strukturnya. Lalu bagaimana kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur?

Saudara-saudara, 40 tahun yang lalu seluruh negara di Asia Timur pendapatan rakyatnya rata-rata hanya US$ 100 per orang. Cina bahkan hanya setengahnya, USD 50 per orang. Tapi sekarang, 40 tahun kemudian, Malaysia itu lima kali dari kita sehingga lebih dari dua juta rakyat Indonesia bisa bekerja sebagai TKI di Malaysia. Kok bisa, sama-sama mayoritas Melayu, kok Malaysia bisa maju rakyatnya? Kesejahteraannya 5 kali lipat dari rakyat kita?

Taiwan sekarang pendapatan per kapitanya 16 kali dari kita, sehingga banyak saudara kita yang bekerja di Taiwan sebagai TKI. Korea Selatan malah lebih 20 kali dari kita. Dan Cina, yang terlambat melakukan refomasi, baru dimulai oleh Deng Xiaoping pada 1985, sekarang penghasilan rakyatnya 1,4 kali dari rakyat Indonesia. Cina kini malah telah menjadi raksasa ekonomi, politik dan militer di Asia.

Saudara-saudara, tentu ada sesuatu yang salah. Kenapa negara-negara lain kok bisa lebih cepat maju dari negara kita? Rakyatnya punya pebekerjaan, sehingga mereka bisa hidup lebih nyaman, lebih sejahtera. Sedangkan kita, sama sekali tidak maju.

Saudara-saudara, jalan yang gagal itu, yang sudah 40 tahun dipakai, kami sebut “Jalan Lama”, yaitu jalan ekonomi yang diatur oleh apa yang sering disebut ”Washington Consensus”. Dengan perangkat dari Washington, di mana banyak hal, termasuk perundang-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintahan kita, dipesan dan diatur oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Bank Dunia, IMF dan sebagainya.

Saya berikan contoh. Indonesia pernah diimingi-imingi pinjaman US$ 400 juta oleh Bank Dunia pada 2002. Syaratnya, Indonesia mesti bikin Undang-undang Migas yang salah satu pasalnya mengatakan: Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25 persen produksi gasnya.

Bayangkan. Kita penghasil dan eksportir gas terbesar di Asia, tetapi kita tidak boleh pakai gas kita sendiri, maksimum hanya 25 persen. Akibatnya kita kesulitan gas. Akibat lainnya, dua pabrik pupuk di Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer tutup karena tidak ada pasokan gas!

Saudara-saudara, apa ini namanya? Ini namanya adalah ”penjajahan model baru”. Ini namanya kolonialisme baru. Dulu Sukarno-Hatta berjuang puluhan tahun, dipenjara di mana-mana di Indonesia, di Sukamiskin, di Banda, dan lain-lain. Di mana-mana mereka perjuangkan agar rakyat kita merdeka secara politik, merdeka secara ekonomi, dan merdeka secara budaya (Tri Sakti).

Tapi yang terjadi sekarang justru yang terbalik. Terbalik karena kita sekarang tidak merdeka secara politik. Ya politik luar negerinya yang masih manut sama negara-negara besar, tidak betul-betul independen. Ya ekonomi kita yang diatur kekuatan lain. Itu namanya, istilah kita, dijajah kembali tapi tidak secara langsung, tidak secara fisik, tidak secara militer. Tapi ekonominya diatur, dan tidak mungkin si pengatur (asing) itu membuat rakyat kita makmur.

Nah, di Asia Timur hanya 2 negara yang ikut dan diatur ekonominya oleh lembaga seperti Bank Dunia, negara besar yaitu Indonesia dan Filipina, dua-duanya gap jarak antara yang kaya dan yang miskin sungguh luar biasa, dua-duanya pengganggurnya banyak sekali dan dua-duanya ekspor tenaga kerja wanita, yang satu bisa bahasa Inggris yang lainnya tidak bisa bahasa Inggris itu saja bedanya.

Nah, saudara-saudara, kita harus percaya ini. Kami percaya, kita bisa mengubah keadaan ini. Tidak mungkin kita biarkan bangsa ini makin lama makin terperosok, kehidupan rakyatnya makin sulit, presidennya sibuk bikin CD dan nyanyi-nyanyi. Kayak kurang kerjaan… Lagunya selangit!

Waktu kami di Jawa Timur, kami ajukan pertanyaan sederhana kepada beberapa petani dan beberapa kyai. Saya tanya, dan saya ingin saudara juga menjawab. Saya ingin tahu mana bedanya pemuda (di sini) dengan petani di Jawa Timur. “Saya mau tanya, masuk akal tidak Indonesia impor setiap tahun dua juta ton beras? Masuk akal nggak? Masuk akal tidak setiap tahun kita impor 1,6 juta ton gula? Masuk akal tidak kita impor 1,8 juta ton kedelai setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor jagung 1,2 ton setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor satu juta ton bungkil setiap tahun untuk makanan ternak?”

(Hadirin: “Tidak…!”)

Saudara kurang kencang ngomongnya! Petani di Jawa Timur lebih kencang dari saudara. Saya jadi malu lihat pemuda. Masuk akal tidak kita impor 1,5 juta ton garam setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 800 ribu ton beras setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 100 ribu ton kacang tanah setiap tahun?

(Hadirin: TIDAAAK..!!”)

Lho… kok bisa kejadian? Ah, masuk akal, karena pemerintahnya tidak berpihak kepada petani. Masuk akal karena pemerintah itu berpihak kepada importir produk-produk pangan.

Saudara-saudara, kalau kita jalan-jalan di luar negeri, atau di Bali, kita lihat sekelompok turis Jepang yang pakaiannya sederhana sekali. Turis Jepang kan selalu pergi beramai-ramai. Kalau kita tanya pekerjaan mereka apa, mereka bilang: Petani. Kita tanya lagi, luas tanahnya berapa? Tanahnya hanya 0,5 hektar. Di Jawa petaninya rata-rata juga punya tanah segitu, 0,5 hektar.

Kok bisa petani Jepang, petani Taiwan, dengan tanah garapan rata-rata 0,5 hektar, jadi turis dan pergi ke seluruh dunia? Tanahnya hanya setengah hektar. Kok petani Indonesia nggak bisa?

Waktu di Jawa Timur, ada satu kiai nyeletuk kepada kami, “Boro-boro jadi turis, Pak, ke Jakarta aja kita susah. Kalau kita mau keluar negeri, anak kita mesti jadi TKI dulu!”

Kok bisa? Kenapa petani Jepang bisa, kenapa petani Taiwan bisa? Karena pemerintahnya pro petani.

Caranya bagaimana? Tentu oleh pemerintahnya dibikinkan irigasi yang bagus, sudah tentu juga dikasih bibit yang unggul. Satu batang padi di Indonesia, butir padinya hanya 150 butir. Di Jepang dan Taiwan padinya per batang bisa menghasilkan 400 sampai 500 butir. Tidak aneh kalau produksinya satu hektar bisa mencapai 8 sampai 10 juta ton.

Tapi yang paling penting, dan ini yang paling penting, ada kebijakan (pemerintah mengenai) harga untuk menjaga harga hasil produk-produk pertanian. Harganya tetap bagus. Caranya bagaimana? Caranya dikasih perlindungan, dikasih tarif, sehingga produk (pertanian) impor menjadi mahal di negerinya. Amerika juga melakukan itu. Eropa apalagi!

Makanya, tidak mudah kalau kita mau ekspor barang pertanian ke Eropa. Bisa kena tarif, kena aturan teknis, kena standar, kena kriteria macam-macam. Susah. Nyaris nggak mungkin kita bisa ekspor produk pertanian ke Eropa. Demikian juga ke Jepang. Sehingga produk pertanian di sana itu bagus. Mau tidak mau pendapatan petani juga tinggi. Apalagi kredit untuk petani di sana sangat mudah, dipermudah dan dipermurah bunganya.

Intinya, yang paling penting, pemerintahannya pro petani. Di Jepang partai yang berkuasa, LDP (Partai Demokratik Liberal) bisa berkuasa hingga 60 tahun lebih karena pro-petani. Begitu dia tidak pro-petani, beberapa tahun lalu, pemerintahan LDP jatuh. Tiga tahun digantikan partai oposisi.

Jadi, ada kaitan langsung antara kepemimpinan dan kekuasaan dengan kebijakan pemerintahnya: Pro-petani dan pro-buruh atau tidak?

Demokrasi di Indonesia sebaliknya. Kekuasaan, sebelum dipilih, sibuk bujuk rakyat. Setelah dipilih, lupa sama rakyat. Sibuk dengan nyanyi-nyanyi dan bikin CD. Garis kebijakannya nggak ada hubungannya dengan rakyat biasa, tidak ada hubungannya dengan petani, karena diatur oleh negara-negara maju dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.

Sebetulnya, kalau kita ingat 10 tahun yang lalu, tarif barang-barang di dunia begitu tinggi. Tapi pemerintah Indonesia ditekan oleh IMF. Seluruh tarif sektor pertanian ditekan menjadi nol, bahkan menjadi hanya 5 persen. Akibatnya, bertani itu menjadi tidak menguntungkan. Seandainya pada waktu itu kita tidak menyerah kepada IMF, tarif produk pertanian masih tinggi hari ini, pada saat dunia kesulitan pangan, Indonesia seharusnya justru bisa menikmati manfaat kenaikan dari kenaikan harga pangan itu.

Saudara-saudara, pemerintah saat ini terlalu percaya pada mekanisme pasar ugal-ugalan. Hasilnya, selama pemerintahan Yudhoyono, anggaran program anti-kemiskinan naik 2,8 kali.

Tetapi jumlah orang miskin bukannya berkurang, tapi justru bertambah. Kenapa? Karena program anti-kemiskinan itu tidak efektif. Lebih banyak sebagai alat untuk menyenangkan rakyat sesaat, sehingga rakyat senang samanya beliau.

Yang kedua, yang lebih berbahaya lagi, adanya proses pemiskinan secara struktural. Yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan. Ini lebih berbahaya dari yang pertama.

Saya berikan contoh. Dulu banyak industri rotan di kawasan pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon, Semarang, Surabaya sampai Sidoarjo. Ratusan ribu rakyat kita bekerja di industri rotan ini. Tetapi pemerintah kemudian mengizinkan ekspor rotan mentah (bahan bakunya). Sehingga para pengusaha rotan (UKM) itu kesulitan memperoleh bahan bakunya tersebut. Akibatnya, ratusan ribu pekerja industri rotan menganggur. Sebaliknya, Cina yang mengimpor rotan mentah dari Indonesia, tiba-tiba muncul menjadi industri rotan terkemuka di dunia.

Contoh kedua. Pemerintah ngomong membela petani, rekapitalitas (/memberi modal kepada) petani, tapi pemerintah juga mengizinkan lebih banyak ekspor pupuk ke luar negeri. Akibatnya harga pupuk di dalam negeri naik 40 persen di seluruh Indonesia. Pupuk jadi langka, sehingga banyak pupuk palsu. Semua ini bermuara pada menurunnya hasil petani kita.

Saudara-saudara, saya baru saja dari Pati, Jawa Tengah, beberapa minggu yang lalu. Saya baru bertemu dengan pengrajin perak dan kuningan di sana. Mereka memakai bahan baku perak bekas dan kuningan bekas. Ternyata kuningan bekas ini juga diizinkan untuk diekspor oleh pemerintah, sehingga para pengrajin logam itu kehabisan bahan baku karena banyak diekspor. Maka banyak pengrajin logam yang bangkrut.

Nah, kebijakan-kebijakan pemerintah yang bikin miskin rakyat seperti ini tentunya yang harus kita lawan.

Saudara-saudara, Indonesia ini kaya sekali. Banyak memiliki cawan-cawan emas, banyak memiliki industri pertambangan. Kekayaan alamnya luar biasa. Tetapi kalau pemimpinnya bermental “inlander”, tunduk kepada asing, maka rakyat kita tidak menikmati secara maksimum cawan-cawan emas ini.

Tadi saya katakan, kita ini produsen gas nomor satu di Asia. Tetapi di dalam negeri kesulitan gas. Kita juga eksportir batubara nomor satu di Asia. Tapi PLN kesulitan cari batubara. Industri kesulitan cari batubara. Kita produsen sawit nomor dua terbesar di dunia, tapi rakyat kita kesulitan minyak goreng. Kenapa? Karena cara berpikir pemerintah kita persis dengan cara berpikir mahasiswa kos-kosan.

Ya. Mahasiswa kos-kosan itu kalau tidak punya uang, caranya kan cuma dua. Pertama, ngutang, ngutang, yang makin lama makin diinjak sama rentenirnya, yaitu Bank Dunia dan bank negara kreditor. Dan yang kedua, kalau tidak punya uang, jual atau lego barang. Mula-mula, kalau mahasiswa, jual celana jeans. Ya, kan? (Hadirin tertawa!)

Lalu jual handphone, jual jam tangan, jual laptop. Buntutnya, bisa jual diri.

Nah, pemerintah ini pola berpikirnya tidak jauh dengan mahasiswa kos-kosan. Nggak punya uang, ngutang. Bukannya melakukan penghematan, melakukan pengurangan pemborosan, tetapi justru malah bisanya mengutang. Kedua, mental jual-menjual itu. Nah, kalau semua bahan baku, bahan mentah itu dijual, maka tidak akan ada pekerjaan untuk kita, untuk rakyat kita. Tidak ada nilai tambah untuk bangsa kita.

Coba lihat Singapura. Negara itu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Tidak punya bahan bakar. Impor minyak dari Indonesia. Namun, kilangnya memproses minyak mentah dari Indonesia, lalu dijual kembali ke Indonesia. Beli minyak mentah dari Indonesia, jual minyak olahan kembali ke Indonesia. Tapi mereka dapat nilai tambah, dapat pekerjaan paling banyak.

Jadi, pemerintah yang tidak memiliki visi, pemerintah yang tidak memiliki strategi, pada akhirnya hanya jual-menjual sehingga tidak ada pekerjaan untuk jutaan bangsa kita. Tetapi kalau pemerintahnya punya visi, bahan mentahnya sebagian diproses di dalam negeri, sehingga ada jutaan lapangan kerja, maka jutaan rakyat Indonesia tidak menganggur.

Jadi pemerintah yang mentalnya seperti anak kos-kosan ini, yaitu ngutang dan jual-dan-jual. Mulai dari jual sumber daya alam, jual BUMN, sampai jual rakyat Indonesia sebagai TKI, ya karena dari awal dirinya sudah dijual.

Saudara-saudara, saya percaya, kita bisa melakukan perubahan. Saya yakin kita mampu melakukan hal itu.

Nah, hari ini saya beberkan contoh sederhana. Pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Kok enak saja. Setiap harga BBM di pasar internasional naik, bebannya dipindahkan kepada rakyat. Padahal pemerintah yang seharusnya mengakui kesalahannya. Misalnya, karena terjadi penurunan produksi 300 ribu barrel per hari. Kalau produksinya masih sama yaitu 1,2 juta barrel per hari, kita bisa menikmati kenaikan harga BBM itu. Tapi ini, lho, kok enak saja, situ yang kagak mampu, bebannya malah diturunkan kepada rakyat.

Saudara-saudara, Indonesia itu impor 300 ribu barrel minyak mentah setiap hari dari Timur Tengah. Seharusnya kita bisa memperbaiki tata niaga minyak ini agar biaya produksi BBM turun 20 persen, sehingga apa yang dikatakan subsidi itu akan menjadi lebih rendah. Kenapa kok nggak mau? Kan itu gampang. Banyak pertanyaan seperti itu: “Kenapa nggak mau? Tidak mau karena ada seseorang, orang Indonesia yang punya kantor di Singapura, yang disebut “Mr. Two Dollar”, artinya setiap dia impor dapat minimal US$2/barel, jadi pendapatan orang ini setiap harinya: US$ 600 ribu atau Rp 6 milyar.

Nah, kenapa pemerintah nggak berani ganggu dia, ngusut dia? Kenapa pemerintah ini bukannya menghapuskan sistem itu? Maunya main gampang, kerjanya main naikan harga BBM, ya sudah pasti kecipratan. Nggak mungkin pemerintah tidak cerdas. Masa soal gitu saja nggak ngerti. Jadi kalau pemerintah ini umumkan kenaikan harga BBM, kita harus lawan…! Kita harus lawan! Kecuali mereka (pemerintah) berani babat orang ini, yang tukang setor ini. Berani babat apa tidak!?!

Saudara-saudara, sama juga dengan listrik. Kini tarif listrik dinaikan terus. Dikatakan pemerintah, subsidi listrik tinggi sekali. Tapi kalau kita tanya berapa kerugian PLN atas kerugian ketidakefisienan transmisi listrik, diprediksi kerugiannya hampir 14 persen. Paling tinggi di Asia.

Jadi, yang namanya subsidi, yang katanya besar dan lain-lain itu, sebetulnya lebih banyak akibat Pertamina dan PLN yang tidak efisien. Akibat pemerintahnya nggak mampu mengefisiensikan Pertamina dan PLN. Rakyat yang kena bebannya!

Saudara-saudara, apa itu “Jalan Baru”? Saya tidak mau menjelaskan detail dan teknisnya. Nanti ada paper-nya. Kita akan bagikan, dan nanti ada saatnya untuk diskusi. Nanti malam.

Jadi dalam acara hari ini ada presentasi dari kami. Kita diskusi sedikit. Nanti siangnya ada diskusi masalah sosial dan politik. Sehingga nanti ada rapat tertutup. Wartawan-wartawan nggak boleh hadir supaya kita bisa merancang tindak dan rencana aksi, jangan pasif.

Saudara-saudara, saya kira saya sudah bicara panjang lebar. Saya mau bicara sedikit lagi. Satu cerita. Saya mau bicara sedikit kejadian pada 2004, ketika saya menjadi penasihat ekonomi tiga calon presiden: Gus Dur, Pak Wiranto dan Pak Yudhoyono.

Saya nggak akan cerita siapa orangnya, tetapi salah satu di antaranya menang, jadi presiden. Waktu itu kami katakan, “Mas, kalau nanti jadi presiden, kita ikuti caranya Mahathir. Rakyat Malaysia itu kebanyakan tinggal di pantai barat, pantai timurnya kosong. Mahathir mengatakan, siapa yang mau pindah ke timur, satu keluarga akan dikasih 7 hektar tanah, dan dikasih kredit biaya hidup yang cukup untuk setiap keluarga. Mereka diminta tanam cokelat, sawit, dan lain-lain.”

Lima tahun kemudian, rakyat yang pindah ke kawasan timur tiba-tiba menjadi kaya. Dibayar habis kreditnya. Dua tahun kemudian, rakyat Malaysia yang kaya itu menjadi malas. Mereka lalu memanggil dua juta rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja untuk menggarap kebun-kebun mereka.

Saya katakan kepada capres itu. Malaysia saja bisa, mosok kita nggak bisa? Tanah Indonesia kan jauh lebih luas dari Malaysia. Kita kasih tanah kepada rakyat kita yang mau pindah ke luar pulau Jawa. Daripada dikasih kepada konglomerat 3-4 juta hektar, kita kasih sama rakyat kita. Tetapi jangan ikuti program transmigrasi. Program transmigrasi itu sejak zaman Belanda hasilnya apa?

Tanah di luar pulau Jawa itu tidak sesubur di Jawa. Tanah yang diberikan kepada transmigran hanya 2 hektar. Generasi pertama betul-betul kerja keras, baru setelah satu generasi tanah itu subur. Tapi setelah itu anak-anaknya yang rata-rata tiga sudah besar. Lalu tanah yang dua hektar itu dibagi tiga. Hasilnya 0,7 hektar per orang. Lha, sama lagi seperti petani miskin di pulau Jawa.

Jadi kita nggak boleh mengikuti model transmigrasi seperti itu. Kita harus ngasih per keluarga itu 10 hektar. Agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial, penduduk daerah asli dikasih 20 hektar per keluarga. Itu lebih dari cukup. Kita kasih kredit biaya hidup, satu bulan satu keluarga satu juta. Setahun hanya Rp 12 juta. Lima tahun, sampai panen Rp 60 juta. Plus bibit dan lain-lain, satu keluarga paling banter selama 5 tahun menghabiskan dana Rp 100 juta.

Kalau mereka nanti panen cokelat, sawit atau lainnya dari kebun yang luasnya 10 hektar, mereka akan menjadi kaya dadakan. Bisa naik pesawat, bisa jadi turis ke seluruh dunia, bisa kirim anak-anaknya ke sekolah yang bagus.

Saya ingat, saya ingat betul, capres mengeluarkan dua pulpen. Satu pulpen merah, satu pulpen hijau. “Mas Rizal, ini (ide) bagus sekali, saya akan lakukan,” katanya sambil menggarisbawahi paper saya itu. Tapi hingga tiga tahun kemudian, nggak pernah dengar ceritanya itu.

Satu lagi. Pada waktu itu kami katakan, kami kasih unjuk (kepada capres itu), anak-anak Indonesia pada usia sekolah banyak yang kurang gizi, terutama kurang protein. Kalau kita biarkan ini, akan ada generasi bodoh, brain-damage satu generasi. Kita mesti ikuti pengalaman pemerintah Jepang sehabis Perang Dunia II. Pada waktu itu Jepang kalah perang, pemerintahnya miskin sekali. Tetapi mereka tidak ingin generasi mudanya bodoh. Karena mereka masih ingin mengejar ketinggalannya dari Amerika, mengalahkan Amerika, paling tidak di bidang ekonomi.

Pemerintah Jepang memaksakan setiap anak dikasih satu butir telur setiap hari. Saya katakan kepada calon presiden tersebut, “Mas, kita kasih anak di bawah 12 tahun di sekolah-sekolah satu telur saban hari. Nanti kami cari susu, ya gimana cara dapat susu dua kali seminggu. Ini bujetnya untuk 5 tahun…

Bujetnya, anggarannya untuk itu semua, nggak ada artinya. Ini juga bagus dampak ekonominya, karena untuk itu kita perlu jutaan telur. Pasti peternakan (ayam) rakyat akan hidup. Saya katakan juga, kalau nanti program-program yang lain gagal, paling tidak orang akan ingat sama telurnya Mas…” Kembali Capres itu mengeluarkan bolpen merah dan bolpen hitam. “Ini bagus sekali,” katanya.

Sekarang, 3 tahun kemudian, tidak ada cerita tentang telur dan susu itu. Anak-anak kita yang kena gizi buruk banyak sekali. Terus bertambah.

Dan, ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern, orang Indonesia mulai banyak yang bunuh diri. Kok berani-beraninya? Wong tahu kalau mati bunuh diri, menurut ajaran agama mana pun, itu pasti masuk neraka. Jadi saking sulitnya ekonomi di Indonesia, saking tidak adanya harapan, sementara pemimpinnya nyanyi-nyanyi di televisi, ya lebih bagus bunuh diri saja.

Nah, kita berdosa kalau kita tidak lakukan sesuatu. Kita berdosa kalau suasana yang sebetulnya bisa kita ubah ini, tidak kita ubah. Ada jalannya, yang kalau tidak kita lakukan, kita berdosa…!

Saudara-saudara, dengan pikiran dan semangat seperti itu, kami ingin mengajak saudara-saudara untuk merapatkan barisan, untuk mendorong proses perubahan itu. Karena Indonesia memerlukan perubahan. Dan model pemimpin saat ini hanya pemimpin tawar menawar, pemimpin transaksional, yang tidak akan membawa Indonesia ke tingkatan yang lebih maju.

Kita perlu pemimpin-pemimpin yang transformatif. Nabi Besar Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya adalah contoh pemimpin transformatif. Bangsa Arab yang jahiliyah, yang tidak beradab, bisa diubah menjadi bangsa yang beradab, menjadi bangsa yang madaninya maju.

Di kelas manusia biasa, di negara tetangga kita, ada juga pemimpin transformatif, seperti Lee Kuan Yew, yang membuat Singapura dari negara kecil yang tidak ada apa-apanya, menjadi negara berpengaruh di Asia. Mahatir Muhammad di Malaysia, yang rakyatnya 40 tahun lalu sama gembelnya dengan kita, dia ubah, dia bangkitkan, dia beri kesejahteraan kepada mayoritas masyarakat Malaysia.

Deng Xiaoping dan Zu Rong-ji di China, nggak cuma ngurusin 200 juta orang, mereka mengurusi 1,3 miliar orang. Dan mereka bisa kasih makan semua rakyatnya. Kita yang penduduknya 230 juta orang, di gudangnya Bulog nggak cukup beras. Cuma ada satu juta ton lebih lah. Yah, karena banyak tikusnya... (*Hadirin tertawa*)

Saudara-saudara, Indonesia perlu pemimpin transformatif. Karena itu, tahun 2009 nanti, jangan pilih mobil-mobil bekas, karena seluruh Asia Timur dipimpin oleh pemimpin yang pakai mobil balap, bukan mobil bekas.

Sebetulnya Indonesia sudah dalam proses perubahan. Ada lima kejadian pilkada (pemilihan kepala daerah), di mana mobil bekas, tidak dipilih. Satu, yang bersih dan memiliki integritas, tiba-tiba terpilih, tokoh-tokoh besar kalah semua. Kedua, di Sulawesi Selatan, tokoh yang tidak dikenal, yang tidak didukung partai besar, tiba-tiba malah jadi gubernur.

Di Jawa Barat, mobil-mobil bekas juga kalah, digantikan oleh anak-anak muda. Dan di Sumatera Utara, nah, di Sumatera Utara agak aneh. Pemilihan gubernur dimenangkan oleh kombinasi tua dan muda, tapi dua-duanya bukan tokoh terkenal, bukan mobil bekas.

Saudara-saudara, rakyat dan bangsa kita sudah dalam proses perubahan. Pemuda, aktivis pergerakan dan mahasiswa justru harus di garda paling depan, bukannya malah ngikut. Rakyat melakukan perubahan, pemuda mahasiswa malah duduk di belakang. Pemuda, mahasiswa dan aktivis pergerakan harus berada di garda paling depan dari perubahan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 24 April 2008




Salam Perubahan!