Thursday, April 24, 2008

Pidato Dr. Rizal Ramli, Ph.D: Menentukan Jalan Baru Indonesia (24 April 2008)

RIZAL RAMLI kini berstatus tersangka. Ia dituduh menghasut dan menyebarkan kebencian yang menyulut kerusuhan pada tanggal 24 Juni 2008 lalu, beberapa saat setelah DPR setuju membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kenaikan harga BBM dan tata niaga BBM. 

Hasutan itu, menurut Bareskrim Mabes Polri yang tengah menangani kasus ini, disampaikan Rizal Ramli dalam pidatonya di depan aktivis pergerakan mahasiswa tanggal 24 April 2008 di Wisma PKBI. 

Apakah benar Rizal Ramli menghasut? 

Berikut ini adalah bagian pertama dari pidato Rizal Ramli yang telah dibukusakukan  itu. Judul asli pidato ini adalah: Menentukan Jalan Baru Indonesia. 

Selamat membaca!



MENENTUKAN JALAN BARU INDONESIA

Dr. Rizal Ramli, Ph.D

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Menteri Keuangan RI pada Kabinet Persatuan Nasional (Presiden Abdurrahman Wahid)


Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Salam sejahtera dan selamat pagi.

Saya ucapkan selamat datang kepada tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Saya memahami di sini hadir teman-teman dari Jawa Timur, Jawa Barat, Bandung, Garut, Tasik, Jawa Tengah. Juga hadir, teman-teman wakil dari petani, pemuda, dan aktivis pergerakan.

Saudara-saudara, tahun ini adalah “100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang dimulai sejak 1908. Tahun ini juga 63 tahun usia kemerdekaan kita, dan 10 tahun reformasi. Tetapi mayoritas rakyat kita, saya bicara 80 persen yang paling bawah, belum pernah bangkit sama sekali. Belum pernah menikmati kebangkitan dan kesejahteraan. Belum bisa hidup nyaman. Justru saat ini, kehidupan bangsa kita sangat-sangat sulit sekali.

Kalau sepuluh tahun yang lalu, krisis ekonomi dan moneter, awal reformasi, yang terpukul adalah bisnis-bisnis besar dan para profesional, karena mereka banyak mengutang dalam mata uang US Dollar. Pada waktu itu ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah (UKM), justru menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional.

Tetapi sepuluh tahun kemudian, saat ini, konglomerat, para pebisnis besar dan para profesional sudah kembali kokoh. Bahkan ada yang lebih kokoh dibanding sepuluh tahun yang lalu. Tetapi krisis yang sekarang ini, justru mayoritas ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah yang yang paling terpukul.

Kami baru kembali dari perjalanan terus-menerus ke berbagai daerah. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, ternyata penjualan usaha kecil dan menengah itu anjlok sampai sekitar 40 persen. Daya beli masyarakat kita sungguh terpukul. Jadi boro-boro lebih baik, setelah sepuluh tahun reformasi, kehidupan justru semakin sulit.

Tentu ada pertanyaan mendasar: Mengapa setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, setelah 63 tahun merdeka, dan 10 tahun reformasi, kok mayoritas rakyat kita tidak dapat apa-apa?

Nah, saudara-saudara sekalian, ternyata proses reformasi itu telah dibajak oleh kekuatan-kekuatan lama, kekuatan yang memiliki uang, yang akhirnya membelokkan arah reformasi itu. Reformasi juga telah dibajak oleh pikiran-pikiran lama. Sehingga walau pun ada perubahan politik dari otoriter ke demokrasi, walau pun sudah ada perubahan presiden, partai politik dan sebagainya, tetapi jalan yang dipakai dalam bidang ekonomi masih ”jalan lama”, jalan yang telah 40 tahun terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Sudah tentu, kalau kita melihat perbandingan Orde Baru dan Orde Lama, memang ada sedikit kemajuan di bidang ekonomi. Di zaman Bung Karno, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 3 persen. Sedangkan pada zaman Suharto (mertua Prabowo Subianto) ekonomi kita rata-rata tumbuh 6,5 persen. Ada kenaikan 3,5 persen rata-rata dari Sukarno ke Suharto. Tetapi biaya rezim Suharto untuk menaikan pertumbuhan ekonomi yang 3,5 persen itu sangat mahal.

Suharto meninggalkan hutang luar negeri US$ 150 Milyar. Pemerintah Orba juga menggunduli hutan. Tadinya hutan kita itu masih hijau pada awal Orba berkuasa. Sekarang itu kira-kira tinggal sepertiganya yang hijau. Nilai hutan yang digunduli itu paling tidak US$ 100 milyar. Belum dari tambang dan lain-lain, yang nilainya minimum US$ 140 Milyar. Jadi biaya untuk kenaikan yang 3,5 persen itu, total Orde Baru menghabiskan sekitar US$ 400 Milyar. Hasilnya apa?

Hasilnya, ekonomi Indonesia dikendalikan hanya oleh 400 keluarga yang menguasai ribuan perusahaan. Mayoritas rakyatnya hidup pas-pasan saja, dan kalau kita lihat struktur ekonominya, persis seperti gelas anggur ini.

Ya, jadi yang di atas ini usaha-usaha besar dan BUMN yang tidak efisien, kemudian pegangannya ini, yang kecil sekali, menjelaskan tidak adanya usaha skala menengah. Tidak ada golongan menengah yang kuat. Kemudian sisanya yang di bawah, adalah jutaan usaha kecil ekonomi rakyat. Jadi struktur seperti gelas anggur ini sama sekali tidak adil, dan juga tidak baik untuk demokrasi karena labil.

Struktur yang ideal itu adalah strukturnya seperti piramida. Struktur seperti piramida ada yang besar yang efisien, ada golongan menengah yang kuat, ada usaha kecil dan ekonomi rakyat yang juga efisien.

Nah, struktur “ekonomi gelas anggur” itulah hasil dari jalan lama yang dianut oleh Orba dan dilanjutkan oleh pemerintah saat ini. Itulah struktur (ekonomi) yang membuat mereka (konglomerat) itu besar karena dapat macam-macam fasilitas. Dulu dapat hak monopoli, dikasih kredit berbunga murah, dapat perlindungan tarif, dapat kuota, dan sebagainya. Jadi, negara itu justru membantu yang kuat karena mereka yang mampu (memberikan upeti). Sementara golongan menengah ke bawah nyaris tidak ada sama sekali. Padahal yang paling bawah, yang menjadi landasan dasarnya itu, terdiri dari jutaan usaha kecil dan menengah, ekonomi rakyat.

Kalau ditanya untungnya, golongan ekonomi menengah ke bawah ini nyaris tidak ada sama sekali. Jadi mereka yang terdiri dari jutaan usaha kecil dan ekonomi rakyat itu, kalau ditanya untungnya berapa, rata-rata untungnya sangat rendah, kurang dari 5 persen. Itu pun karena tenaga sendiri, tenaga keluarganya yang bekerja, biasanya tidak dihitung, tidak dibayar. Kalau dihitung tenaga mereka dan keluarganya, ini sebetulnya tingkat keuntungannya negatif. Karena itu, banyak yang makan modal.

Nah, sistem ekonomi yang seperti ini sungguh tidak adil. Karena secara tidak langsung kelompok ekonomi menengah ke bawah ini menyubsidi yang di atas, yang besar. Itulah salah satu penyebab mengapa mayoritas dari bangsa kita belum menikmati hasil yang optimal.

Di negara-negara lain seperti Korea, juga Jepang, yang besarnya itu bukan jago kandang, tapi jago di pasar internasional. Produk-produk mereka bisa diekspor sehingga nilai tambahnya itu dari luar negeri dan dibawa masuk untuk menciptakan tambahan lapangan kerja di dalam negeri.

Menurut kami, struktur (ekonomi gelas anggur) inilah yang harus kita ubah. Struktur yang bagaikan gelas anggur ini yang harus kita ubah menjadi struktur piramida. Dengan begitu semua potensi rakyat Indonesia bisa dibalikkan menjadi nilai tambah, dan menciptakan kesejahteraan. Sayangnya, pemerintah Yudhoyono ini adalah pemerintah ”Orba bungkus baru”, dengan kepemimpinan yang tidak efektif. Kepemimpinannya lemah sekali.

Jadi apa gunanya kita melakukan perubahan dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis? Apa gunanya reformasi kalau yang terjadi ternyata ini masih obat lama, ”jalan lama” yang dibungkus dengan kepemimpinan yang lemah sekali.

Saudara-saudara, itu kalau kita lihat strukturnya. Lalu bagaimana kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur?

Saudara-saudara, 40 tahun yang lalu seluruh negara di Asia Timur pendapatan rakyatnya rata-rata hanya US$ 100 per orang. Cina bahkan hanya setengahnya, USD 50 per orang. Tapi sekarang, 40 tahun kemudian, Malaysia itu lima kali dari kita sehingga lebih dari dua juta rakyat Indonesia bisa bekerja sebagai TKI di Malaysia. Kok bisa, sama-sama mayoritas Melayu, kok Malaysia bisa maju rakyatnya? Kesejahteraannya 5 kali lipat dari rakyat kita?

Taiwan sekarang pendapatan per kapitanya 16 kali dari kita, sehingga banyak saudara kita yang bekerja di Taiwan sebagai TKI. Korea Selatan malah lebih 20 kali dari kita. Dan Cina, yang terlambat melakukan refomasi, baru dimulai oleh Deng Xiaoping pada 1985, sekarang penghasilan rakyatnya 1,4 kali dari rakyat Indonesia. Cina kini malah telah menjadi raksasa ekonomi, politik dan militer di Asia.

Saudara-saudara, tentu ada sesuatu yang salah. Kenapa negara-negara lain kok bisa lebih cepat maju dari negara kita? Rakyatnya punya pebekerjaan, sehingga mereka bisa hidup lebih nyaman, lebih sejahtera. Sedangkan kita, sama sekali tidak maju.

Saudara-saudara, jalan yang gagal itu, yang sudah 40 tahun dipakai, kami sebut “Jalan Lama”, yaitu jalan ekonomi yang diatur oleh apa yang sering disebut ”Washington Consensus”. Dengan perangkat dari Washington, di mana banyak hal, termasuk perundang-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintahan kita, dipesan dan diatur oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Bank Dunia, IMF dan sebagainya.

Saya berikan contoh. Indonesia pernah diimingi-imingi pinjaman US$ 400 juta oleh Bank Dunia pada 2002. Syaratnya, Indonesia mesti bikin Undang-undang Migas yang salah satu pasalnya mengatakan: Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25 persen produksi gasnya.

Bayangkan. Kita penghasil dan eksportir gas terbesar di Asia, tetapi kita tidak boleh pakai gas kita sendiri, maksimum hanya 25 persen. Akibatnya kita kesulitan gas. Akibat lainnya, dua pabrik pupuk di Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer tutup karena tidak ada pasokan gas!

Saudara-saudara, apa ini namanya? Ini namanya adalah ”penjajahan model baru”. Ini namanya kolonialisme baru. Dulu Sukarno-Hatta berjuang puluhan tahun, dipenjara di mana-mana di Indonesia, di Sukamiskin, di Banda, dan lain-lain. Di mana-mana mereka perjuangkan agar rakyat kita merdeka secara politik, merdeka secara ekonomi, dan merdeka secara budaya (Tri Sakti).

Tapi yang terjadi sekarang justru yang terbalik. Terbalik karena kita sekarang tidak merdeka secara politik. Ya politik luar negerinya yang masih manut sama negara-negara besar, tidak betul-betul independen. Ya ekonomi kita yang diatur kekuatan lain. Itu namanya, istilah kita, dijajah kembali tapi tidak secara langsung, tidak secara fisik, tidak secara militer. Tapi ekonominya diatur, dan tidak mungkin si pengatur (asing) itu membuat rakyat kita makmur.

Nah, di Asia Timur hanya 2 negara yang ikut dan diatur ekonominya oleh lembaga seperti Bank Dunia, negara besar yaitu Indonesia dan Filipina, dua-duanya gap jarak antara yang kaya dan yang miskin sungguh luar biasa, dua-duanya pengganggurnya banyak sekali dan dua-duanya ekspor tenaga kerja wanita, yang satu bisa bahasa Inggris yang lainnya tidak bisa bahasa Inggris itu saja bedanya.

Nah, saudara-saudara, kita harus percaya ini. Kami percaya, kita bisa mengubah keadaan ini. Tidak mungkin kita biarkan bangsa ini makin lama makin terperosok, kehidupan rakyatnya makin sulit, presidennya sibuk bikin CD dan nyanyi-nyanyi. Kayak kurang kerjaan… Lagunya selangit!

Waktu kami di Jawa Timur, kami ajukan pertanyaan sederhana kepada beberapa petani dan beberapa kyai. Saya tanya, dan saya ingin saudara juga menjawab. Saya ingin tahu mana bedanya pemuda (di sini) dengan petani di Jawa Timur. “Saya mau tanya, masuk akal tidak Indonesia impor setiap tahun dua juta ton beras? Masuk akal nggak? Masuk akal tidak setiap tahun kita impor 1,6 juta ton gula? Masuk akal tidak kita impor 1,8 juta ton kedelai setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor jagung 1,2 ton setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor satu juta ton bungkil setiap tahun untuk makanan ternak?”

(Hadirin: “Tidak…!”)

Saudara kurang kencang ngomongnya! Petani di Jawa Timur lebih kencang dari saudara. Saya jadi malu lihat pemuda. Masuk akal tidak kita impor 1,5 juta ton garam setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 800 ribu ton beras setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 100 ribu ton kacang tanah setiap tahun?

(Hadirin: TIDAAAK..!!”)

Lho… kok bisa kejadian? Ah, masuk akal, karena pemerintahnya tidak berpihak kepada petani. Masuk akal karena pemerintah itu berpihak kepada importir produk-produk pangan.

Saudara-saudara, kalau kita jalan-jalan di luar negeri, atau di Bali, kita lihat sekelompok turis Jepang yang pakaiannya sederhana sekali. Turis Jepang kan selalu pergi beramai-ramai. Kalau kita tanya pekerjaan mereka apa, mereka bilang: Petani. Kita tanya lagi, luas tanahnya berapa? Tanahnya hanya 0,5 hektar. Di Jawa petaninya rata-rata juga punya tanah segitu, 0,5 hektar.

Kok bisa petani Jepang, petani Taiwan, dengan tanah garapan rata-rata 0,5 hektar, jadi turis dan pergi ke seluruh dunia? Tanahnya hanya setengah hektar. Kok petani Indonesia nggak bisa?

Waktu di Jawa Timur, ada satu kiai nyeletuk kepada kami, “Boro-boro jadi turis, Pak, ke Jakarta aja kita susah. Kalau kita mau keluar negeri, anak kita mesti jadi TKI dulu!”

Kok bisa? Kenapa petani Jepang bisa, kenapa petani Taiwan bisa? Karena pemerintahnya pro petani.

Caranya bagaimana? Tentu oleh pemerintahnya dibikinkan irigasi yang bagus, sudah tentu juga dikasih bibit yang unggul. Satu batang padi di Indonesia, butir padinya hanya 150 butir. Di Jepang dan Taiwan padinya per batang bisa menghasilkan 400 sampai 500 butir. Tidak aneh kalau produksinya satu hektar bisa mencapai 8 sampai 10 juta ton.

Tapi yang paling penting, dan ini yang paling penting, ada kebijakan (pemerintah mengenai) harga untuk menjaga harga hasil produk-produk pertanian. Harganya tetap bagus. Caranya bagaimana? Caranya dikasih perlindungan, dikasih tarif, sehingga produk (pertanian) impor menjadi mahal di negerinya. Amerika juga melakukan itu. Eropa apalagi!

Makanya, tidak mudah kalau kita mau ekspor barang pertanian ke Eropa. Bisa kena tarif, kena aturan teknis, kena standar, kena kriteria macam-macam. Susah. Nyaris nggak mungkin kita bisa ekspor produk pertanian ke Eropa. Demikian juga ke Jepang. Sehingga produk pertanian di sana itu bagus. Mau tidak mau pendapatan petani juga tinggi. Apalagi kredit untuk petani di sana sangat mudah, dipermudah dan dipermurah bunganya.

Intinya, yang paling penting, pemerintahannya pro petani. Di Jepang partai yang berkuasa, LDP (Partai Demokratik Liberal) bisa berkuasa hingga 60 tahun lebih karena pro-petani. Begitu dia tidak pro-petani, beberapa tahun lalu, pemerintahan LDP jatuh. Tiga tahun digantikan partai oposisi.

Jadi, ada kaitan langsung antara kepemimpinan dan kekuasaan dengan kebijakan pemerintahnya: Pro-petani dan pro-buruh atau tidak?

Demokrasi di Indonesia sebaliknya. Kekuasaan, sebelum dipilih, sibuk bujuk rakyat. Setelah dipilih, lupa sama rakyat. Sibuk dengan nyanyi-nyanyi dan bikin CD. Garis kebijakannya nggak ada hubungannya dengan rakyat biasa, tidak ada hubungannya dengan petani, karena diatur oleh negara-negara maju dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.

Sebetulnya, kalau kita ingat 10 tahun yang lalu, tarif barang-barang di dunia begitu tinggi. Tapi pemerintah Indonesia ditekan oleh IMF. Seluruh tarif sektor pertanian ditekan menjadi nol, bahkan menjadi hanya 5 persen. Akibatnya, bertani itu menjadi tidak menguntungkan. Seandainya pada waktu itu kita tidak menyerah kepada IMF, tarif produk pertanian masih tinggi hari ini, pada saat dunia kesulitan pangan, Indonesia seharusnya justru bisa menikmati manfaat kenaikan dari kenaikan harga pangan itu.

Saudara-saudara, pemerintah saat ini terlalu percaya pada mekanisme pasar ugal-ugalan. Hasilnya, selama pemerintahan Yudhoyono, anggaran program anti-kemiskinan naik 2,8 kali.

Tetapi jumlah orang miskin bukannya berkurang, tapi justru bertambah. Kenapa? Karena program anti-kemiskinan itu tidak efektif. Lebih banyak sebagai alat untuk menyenangkan rakyat sesaat, sehingga rakyat senang samanya beliau.

Yang kedua, yang lebih berbahaya lagi, adanya proses pemiskinan secara struktural. Yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan. Ini lebih berbahaya dari yang pertama.

Saya berikan contoh. Dulu banyak industri rotan di kawasan pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon, Semarang, Surabaya sampai Sidoarjo. Ratusan ribu rakyat kita bekerja di industri rotan ini. Tetapi pemerintah kemudian mengizinkan ekspor rotan mentah (bahan bakunya). Sehingga para pengusaha rotan (UKM) itu kesulitan memperoleh bahan bakunya tersebut. Akibatnya, ratusan ribu pekerja industri rotan menganggur. Sebaliknya, Cina yang mengimpor rotan mentah dari Indonesia, tiba-tiba muncul menjadi industri rotan terkemuka di dunia.

Contoh kedua. Pemerintah ngomong membela petani, rekapitalitas (/memberi modal kepada) petani, tapi pemerintah juga mengizinkan lebih banyak ekspor pupuk ke luar negeri. Akibatnya harga pupuk di dalam negeri naik 40 persen di seluruh Indonesia. Pupuk jadi langka, sehingga banyak pupuk palsu. Semua ini bermuara pada menurunnya hasil petani kita.

Saudara-saudara, saya baru saja dari Pati, Jawa Tengah, beberapa minggu yang lalu. Saya baru bertemu dengan pengrajin perak dan kuningan di sana. Mereka memakai bahan baku perak bekas dan kuningan bekas. Ternyata kuningan bekas ini juga diizinkan untuk diekspor oleh pemerintah, sehingga para pengrajin logam itu kehabisan bahan baku karena banyak diekspor. Maka banyak pengrajin logam yang bangkrut.

Nah, kebijakan-kebijakan pemerintah yang bikin miskin rakyat seperti ini tentunya yang harus kita lawan.

Saudara-saudara, Indonesia ini kaya sekali. Banyak memiliki cawan-cawan emas, banyak memiliki industri pertambangan. Kekayaan alamnya luar biasa. Tetapi kalau pemimpinnya bermental “inlander”, tunduk kepada asing, maka rakyat kita tidak menikmati secara maksimum cawan-cawan emas ini.

Tadi saya katakan, kita ini produsen gas nomor satu di Asia. Tetapi di dalam negeri kesulitan gas. Kita juga eksportir batubara nomor satu di Asia. Tapi PLN kesulitan cari batubara. Industri kesulitan cari batubara. Kita produsen sawit nomor dua terbesar di dunia, tapi rakyat kita kesulitan minyak goreng. Kenapa? Karena cara berpikir pemerintah kita persis dengan cara berpikir mahasiswa kos-kosan.

Ya. Mahasiswa kos-kosan itu kalau tidak punya uang, caranya kan cuma dua. Pertama, ngutang, ngutang, yang makin lama makin diinjak sama rentenirnya, yaitu Bank Dunia dan bank negara kreditor. Dan yang kedua, kalau tidak punya uang, jual atau lego barang. Mula-mula, kalau mahasiswa, jual celana jeans. Ya, kan? (Hadirin tertawa!)

Lalu jual handphone, jual jam tangan, jual laptop. Buntutnya, bisa jual diri.

Nah, pemerintah ini pola berpikirnya tidak jauh dengan mahasiswa kos-kosan. Nggak punya uang, ngutang. Bukannya melakukan penghematan, melakukan pengurangan pemborosan, tetapi justru malah bisanya mengutang. Kedua, mental jual-menjual itu. Nah, kalau semua bahan baku, bahan mentah itu dijual, maka tidak akan ada pekerjaan untuk kita, untuk rakyat kita. Tidak ada nilai tambah untuk bangsa kita.

Coba lihat Singapura. Negara itu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Tidak punya bahan bakar. Impor minyak dari Indonesia. Namun, kilangnya memproses minyak mentah dari Indonesia, lalu dijual kembali ke Indonesia. Beli minyak mentah dari Indonesia, jual minyak olahan kembali ke Indonesia. Tapi mereka dapat nilai tambah, dapat pekerjaan paling banyak.

Jadi, pemerintah yang tidak memiliki visi, pemerintah yang tidak memiliki strategi, pada akhirnya hanya jual-menjual sehingga tidak ada pekerjaan untuk jutaan bangsa kita. Tetapi kalau pemerintahnya punya visi, bahan mentahnya sebagian diproses di dalam negeri, sehingga ada jutaan lapangan kerja, maka jutaan rakyat Indonesia tidak menganggur.

Jadi pemerintah yang mentalnya seperti anak kos-kosan ini, yaitu ngutang dan jual-dan-jual. Mulai dari jual sumber daya alam, jual BUMN, sampai jual rakyat Indonesia sebagai TKI, ya karena dari awal dirinya sudah dijual.

Saudara-saudara, saya percaya, kita bisa melakukan perubahan. Saya yakin kita mampu melakukan hal itu.

Nah, hari ini saya beberkan contoh sederhana. Pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Kok enak saja. Setiap harga BBM di pasar internasional naik, bebannya dipindahkan kepada rakyat. Padahal pemerintah yang seharusnya mengakui kesalahannya. Misalnya, karena terjadi penurunan produksi 300 ribu barrel per hari. Kalau produksinya masih sama yaitu 1,2 juta barrel per hari, kita bisa menikmati kenaikan harga BBM itu. Tapi ini, lho, kok enak saja, situ yang kagak mampu, bebannya malah diturunkan kepada rakyat.

Saudara-saudara, Indonesia itu impor 300 ribu barrel minyak mentah setiap hari dari Timur Tengah. Seharusnya kita bisa memperbaiki tata niaga minyak ini agar biaya produksi BBM turun 20 persen, sehingga apa yang dikatakan subsidi itu akan menjadi lebih rendah. Kenapa kok nggak mau? Kan itu gampang. Banyak pertanyaan seperti itu: “Kenapa nggak mau? Tidak mau karena ada seseorang, orang Indonesia yang punya kantor di Singapura, yang disebut “Mr. Two Dollar”, artinya setiap dia impor dapat minimal US$2/barel, jadi pendapatan orang ini setiap harinya: US$ 600 ribu atau Rp 6 milyar.

Nah, kenapa pemerintah nggak berani ganggu dia, ngusut dia? Kenapa pemerintah ini bukannya menghapuskan sistem itu? Maunya main gampang, kerjanya main naikan harga BBM, ya sudah pasti kecipratan. Nggak mungkin pemerintah tidak cerdas. Masa soal gitu saja nggak ngerti. Jadi kalau pemerintah ini umumkan kenaikan harga BBM, kita harus lawan…! Kita harus lawan! Kecuali mereka (pemerintah) berani babat orang ini, yang tukang setor ini. Berani babat apa tidak!?!

Saudara-saudara, sama juga dengan listrik. Kini tarif listrik dinaikan terus. Dikatakan pemerintah, subsidi listrik tinggi sekali. Tapi kalau kita tanya berapa kerugian PLN atas kerugian ketidakefisienan transmisi listrik, diprediksi kerugiannya hampir 14 persen. Paling tinggi di Asia.

Jadi, yang namanya subsidi, yang katanya besar dan lain-lain itu, sebetulnya lebih banyak akibat Pertamina dan PLN yang tidak efisien. Akibat pemerintahnya nggak mampu mengefisiensikan Pertamina dan PLN. Rakyat yang kena bebannya!

Saudara-saudara, apa itu “Jalan Baru”? Saya tidak mau menjelaskan detail dan teknisnya. Nanti ada paper-nya. Kita akan bagikan, dan nanti ada saatnya untuk diskusi. Nanti malam.

Jadi dalam acara hari ini ada presentasi dari kami. Kita diskusi sedikit. Nanti siangnya ada diskusi masalah sosial dan politik. Sehingga nanti ada rapat tertutup. Wartawan-wartawan nggak boleh hadir supaya kita bisa merancang tindak dan rencana aksi, jangan pasif.

Saudara-saudara, saya kira saya sudah bicara panjang lebar. Saya mau bicara sedikit lagi. Satu cerita. Saya mau bicara sedikit kejadian pada 2004, ketika saya menjadi penasihat ekonomi tiga calon presiden: Gus Dur, Pak Wiranto dan Pak Yudhoyono.

Saya nggak akan cerita siapa orangnya, tetapi salah satu di antaranya menang, jadi presiden. Waktu itu kami katakan, “Mas, kalau nanti jadi presiden, kita ikuti caranya Mahathir. Rakyat Malaysia itu kebanyakan tinggal di pantai barat, pantai timurnya kosong. Mahathir mengatakan, siapa yang mau pindah ke timur, satu keluarga akan dikasih 7 hektar tanah, dan dikasih kredit biaya hidup yang cukup untuk setiap keluarga. Mereka diminta tanam cokelat, sawit, dan lain-lain.”

Lima tahun kemudian, rakyat yang pindah ke kawasan timur tiba-tiba menjadi kaya. Dibayar habis kreditnya. Dua tahun kemudian, rakyat Malaysia yang kaya itu menjadi malas. Mereka lalu memanggil dua juta rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja untuk menggarap kebun-kebun mereka.

Saya katakan kepada capres itu. Malaysia saja bisa, mosok kita nggak bisa? Tanah Indonesia kan jauh lebih luas dari Malaysia. Kita kasih tanah kepada rakyat kita yang mau pindah ke luar pulau Jawa. Daripada dikasih kepada konglomerat 3-4 juta hektar, kita kasih sama rakyat kita. Tetapi jangan ikuti program transmigrasi. Program transmigrasi itu sejak zaman Belanda hasilnya apa?

Tanah di luar pulau Jawa itu tidak sesubur di Jawa. Tanah yang diberikan kepada transmigran hanya 2 hektar. Generasi pertama betul-betul kerja keras, baru setelah satu generasi tanah itu subur. Tapi setelah itu anak-anaknya yang rata-rata tiga sudah besar. Lalu tanah yang dua hektar itu dibagi tiga. Hasilnya 0,7 hektar per orang. Lha, sama lagi seperti petani miskin di pulau Jawa.

Jadi kita nggak boleh mengikuti model transmigrasi seperti itu. Kita harus ngasih per keluarga itu 10 hektar. Agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial, penduduk daerah asli dikasih 20 hektar per keluarga. Itu lebih dari cukup. Kita kasih kredit biaya hidup, satu bulan satu keluarga satu juta. Setahun hanya Rp 12 juta. Lima tahun, sampai panen Rp 60 juta. Plus bibit dan lain-lain, satu keluarga paling banter selama 5 tahun menghabiskan dana Rp 100 juta.

Kalau mereka nanti panen cokelat, sawit atau lainnya dari kebun yang luasnya 10 hektar, mereka akan menjadi kaya dadakan. Bisa naik pesawat, bisa jadi turis ke seluruh dunia, bisa kirim anak-anaknya ke sekolah yang bagus.

Saya ingat, saya ingat betul, capres mengeluarkan dua pulpen. Satu pulpen merah, satu pulpen hijau. “Mas Rizal, ini (ide) bagus sekali, saya akan lakukan,” katanya sambil menggarisbawahi paper saya itu. Tapi hingga tiga tahun kemudian, nggak pernah dengar ceritanya itu.

Satu lagi. Pada waktu itu kami katakan, kami kasih unjuk (kepada capres itu), anak-anak Indonesia pada usia sekolah banyak yang kurang gizi, terutama kurang protein. Kalau kita biarkan ini, akan ada generasi bodoh, brain-damage satu generasi. Kita mesti ikuti pengalaman pemerintah Jepang sehabis Perang Dunia II. Pada waktu itu Jepang kalah perang, pemerintahnya miskin sekali. Tetapi mereka tidak ingin generasi mudanya bodoh. Karena mereka masih ingin mengejar ketinggalannya dari Amerika, mengalahkan Amerika, paling tidak di bidang ekonomi.

Pemerintah Jepang memaksakan setiap anak dikasih satu butir telur setiap hari. Saya katakan kepada calon presiden tersebut, “Mas, kita kasih anak di bawah 12 tahun di sekolah-sekolah satu telur saban hari. Nanti kami cari susu, ya gimana cara dapat susu dua kali seminggu. Ini bujetnya untuk 5 tahun…

Bujetnya, anggarannya untuk itu semua, nggak ada artinya. Ini juga bagus dampak ekonominya, karena untuk itu kita perlu jutaan telur. Pasti peternakan (ayam) rakyat akan hidup. Saya katakan juga, kalau nanti program-program yang lain gagal, paling tidak orang akan ingat sama telurnya Mas…” Kembali Capres itu mengeluarkan bolpen merah dan bolpen hitam. “Ini bagus sekali,” katanya.

Sekarang, 3 tahun kemudian, tidak ada cerita tentang telur dan susu itu. Anak-anak kita yang kena gizi buruk banyak sekali. Terus bertambah.

Dan, ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern, orang Indonesia mulai banyak yang bunuh diri. Kok berani-beraninya? Wong tahu kalau mati bunuh diri, menurut ajaran agama mana pun, itu pasti masuk neraka. Jadi saking sulitnya ekonomi di Indonesia, saking tidak adanya harapan, sementara pemimpinnya nyanyi-nyanyi di televisi, ya lebih bagus bunuh diri saja.

Nah, kita berdosa kalau kita tidak lakukan sesuatu. Kita berdosa kalau suasana yang sebetulnya bisa kita ubah ini, tidak kita ubah. Ada jalannya, yang kalau tidak kita lakukan, kita berdosa…!

Saudara-saudara, dengan pikiran dan semangat seperti itu, kami ingin mengajak saudara-saudara untuk merapatkan barisan, untuk mendorong proses perubahan itu. Karena Indonesia memerlukan perubahan. Dan model pemimpin saat ini hanya pemimpin tawar menawar, pemimpin transaksional, yang tidak akan membawa Indonesia ke tingkatan yang lebih maju.

Kita perlu pemimpin-pemimpin yang transformatif. Nabi Besar Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya adalah contoh pemimpin transformatif. Bangsa Arab yang jahiliyah, yang tidak beradab, bisa diubah menjadi bangsa yang beradab, menjadi bangsa yang madaninya maju.

Di kelas manusia biasa, di negara tetangga kita, ada juga pemimpin transformatif, seperti Lee Kuan Yew, yang membuat Singapura dari negara kecil yang tidak ada apa-apanya, menjadi negara berpengaruh di Asia. Mahatir Muhammad di Malaysia, yang rakyatnya 40 tahun lalu sama gembelnya dengan kita, dia ubah, dia bangkitkan, dia beri kesejahteraan kepada mayoritas masyarakat Malaysia.

Deng Xiaoping dan Zu Rong-ji di China, nggak cuma ngurusin 200 juta orang, mereka mengurusi 1,3 miliar orang. Dan mereka bisa kasih makan semua rakyatnya. Kita yang penduduknya 230 juta orang, di gudangnya Bulog nggak cukup beras. Cuma ada satu juta ton lebih lah. Yah, karena banyak tikusnya... (*Hadirin tertawa*)

Saudara-saudara, Indonesia perlu pemimpin transformatif. Karena itu, tahun 2009 nanti, jangan pilih mobil-mobil bekas, karena seluruh Asia Timur dipimpin oleh pemimpin yang pakai mobil balap, bukan mobil bekas.

Sebetulnya Indonesia sudah dalam proses perubahan. Ada lima kejadian pilkada (pemilihan kepala daerah), di mana mobil bekas, tidak dipilih. Satu, yang bersih dan memiliki integritas, tiba-tiba terpilih, tokoh-tokoh besar kalah semua. Kedua, di Sulawesi Selatan, tokoh yang tidak dikenal, yang tidak didukung partai besar, tiba-tiba malah jadi gubernur.

Di Jawa Barat, mobil-mobil bekas juga kalah, digantikan oleh anak-anak muda. Dan di Sumatera Utara, nah, di Sumatera Utara agak aneh. Pemilihan gubernur dimenangkan oleh kombinasi tua dan muda, tapi dua-duanya bukan tokoh terkenal, bukan mobil bekas.

Saudara-saudara, rakyat dan bangsa kita sudah dalam proses perubahan. Pemuda, aktivis pergerakan dan mahasiswa justru harus di garda paling depan, bukannya malah ngikut. Rakyat melakukan perubahan, pemuda mahasiswa malah duduk di belakang. Pemuda, mahasiswa dan aktivis pergerakan harus berada di garda paling depan dari perubahan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 24 April 2008




Salam Perubahan!