Diskursus tentang CIA dan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa ini kembali mengemuka ketika buku Tim Werner berjudul “Legacy of Ashes: The History of CIA” yang diterbitkan tahun 2007 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan menyinggung tentang perekrutan Adam Malik oleh agen CIA Clyde McAvoy, pemberian bantuan sebesar US$ 500.000 kepada Soeharto dan KAP-Gestapu, dan pemberian posisi Ketua Majelis Umum PBB kepada Adam Malik. Polemik pun merebak. Ada yang percaya, ada yang tidak. Dan seperti juga kasus lainnya di negeri ini, kontroversi itu pun segera menguap, berakhir tanpa ending yang jelas. Fakta inilah yang membuat banyak orang luar menyebut bangsa ini memiliki memori yang amat pendek.
Di sini, kami tidak secara khusus menyoroti polemik tersebut, namun kami akan mencoba untuk menelusuri jejak-jejak CIA di dalam merecoki perjalanan sejarah Indonesia sampai kini. Semoga apa yang kami paparkan bisa menambah wawasan dan meningkatkan kewaspadaan kita semua. Amin.
Negasi Komunisme
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 telah mencemaskan AS. Sejak itu pula, AS merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan.” (Vsemirnaya Istoriya 1961, VIII:82). Dan kita tahu, baru pada tahun 1992 Soviet hancur.
Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif disebabkan fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan Perang Dunia I dan II. Barulah usai Perang Dunia II, AS sungguh-sungguh menyadari betapa Soviet harus dihadapi dengan serius.
Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Indonesia (yang dulu disebut “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. “Ketika tentara Kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, bisa dilihat banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika?: Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008, p. 41). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948 (Dorling & Lee; Australia and Indonesia’s Independence Vol.2: The Renville Agreement; 1996)
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting bagi AS. George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948, “Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.” (Gouda & Zaalberg; p.35).
Guna membendung pengaruh komunisme Soviet di Eropa maka AS mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 4 April 1949. Tanggal 1 Oktober 1949 RRC komunis di bawah Mao Tse-Tung berdiri. Perang Korea (1950) memaksa tentara AS yang di bawah panji PBB berhadapan langsung melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara. Hal ini menjadikan AS merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization (SEATO). Kian jelas, NATO dimaksudkan sebagai politik pembendungan terhadap Uni Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik pembendungan terhadap RRC (Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa Ke-II Tahun 1955-1965; 2005).
Di penghujung 1950, RRC dan Uni Soviet menjalin hubungan yang erat. Ini kian mencemaskan AS yang bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar bebas yang besar bagi dirinya, dan juga penguasaan atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia. Sebab itu, Menlu AS Dean Acheson di penghujung 1950 merumuskan kebijakan politik luar negeri AS untuk Asia Pasifik. AS menjalin perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut.
AS mendirikan
• Pangkalan Okinawa di Jepang pada 8 September 1951,
• Pangkalan Clark & Subic di Filipina pada 30 Agustus 1951,
• Pangkalan ANZUS (Australia, New Zealand, and United States) pada 1 September 1951,
• Pangkalan di Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan
• Pangkalan Taiwan pada 2 Desember 1954.
(Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi Papers Number 132; 1977)
Semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Soekarno yang sejak muda gandrung pada persatuan Indonesia yang merdeka, berdaulat secara politik dan ekonomi, dan mandiri. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu, dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersahabat dengan Amerika (Soebadio; p. 42). Sebab itu, Indonesia menentang usaha AS menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin kerjasama dengan Soviet dalam kedudukan yang setara. Apalagi Soekarno tahu jika AS membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal ini menjadikan AS bernafsu untuk menumbangkan segera Soekarno.
Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pax-Pacifica untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh Partai Sosialis Indonesia bernama Raden Mas Soemitro Djojohadikusumo dan K.R.T. Soedjatmoko Mangoendiningrat yang berasal dari kalangan bangsawan. AS mengetahui jika keduanya menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Soemitro diketahui menyambut baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Soemitro di School of Advanced International Studies (SAIS) yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suar Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin; 2008. p.301. Lihat juga Weisman dan Djojohadikoesoemo 1949: 9).
David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1970) menulis:
“Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro-AS. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska/sosialis anti-komunis) dunia. “Kita harus berusaha agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya,” jelas Robert Delson, pengacara di Park Avenue dan penasihat hukum untuk Indonesia di Amerika Serikat.”
Orang ini, tulis Ransom, selalu menemani dan membawa Soemitro dan Koko keliling AS dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) dan para pemimpin Sosialis Kanan (Soska/sosialis anti-komunis). Mereka juga membaur di lingkaran Rockfeller, secara khusus di antara anggota-anggota Council on Foreign Relations (CFR), kelompok elit perumus kebijakan yang paling berpengaruh di Amerika Serikat.
Usai KMB 1949, Soemitro pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri (1950-1951), dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan (1952-1953) dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1951-1957). Sebagai menteri pada awal 50-an, Soemitro melindungi “stabilitas” ekonomi yang menyukai investasi Belanda.
Soemitro didukung oleh PSI dan sekutu moderatnya yang secara jumlah lebih besar, Partai Masyumi, sebuah kendaraan santri yang komersil dan kaya. Namun, ia jelas berenang melawan ombak. PKI milik Komunis, PNI milik Soekarno, Tentara, dan NU milik kaum muslim yang ortodoks/konservatif – semua orang, nyatanya, kecuali PSI dan Masyumi, menaiki ombak nasionalisme paska perang. Pada pemilihan nasional tahun 1955, PSI hanya meraih posisi kelima dan lebih buruk lagi pada tahun 1957 dimana PKI milik Komunis menjadi partai terkuat.
Meski demikian, ketika Soekarno mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957, Soemitro bersama para pemimpin Masyumi dan para pemberontak di tubuh militer mengadakan PRRI/PERMESTA, yang didukung penuh CIA. (baca "The Berkeley Mafia and the Indonesia Massacre" oleh David Ransom yang dipublikasikan tahun 1970 dan "Legacy of Ashes: The History of CIA" oleh Tim Weiner yang dipublikasikan tahun 2007 halaman 147-148)
Edisi Koleksi Angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di Balik Skandal Politik dan Obat Bius” (juga buku David Wise & Thomas B. Ross: Pemerintah ‘Bayangan’ Amerika Serikat: 2007) memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini: Dalam waktu bersamaan, November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka. Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya.
Tudingan Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun kemudian terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War) dipaparkan jika pada malam hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Awalnya pemerintah AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), setelah pesawat itu membombardir sebuah pasar dan landasan udara Ambon. Sebuah kapal laut milik ALRI juga menjadi korban (Soebadio: Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005; h. 73).
“Sejumlah rakyat sipil, yang sedang berada di gereja pada acara Kamis Putih, terbunuh dalam serangan di komunitas Kristen tersebut,” tulis David Wise & Thomas B. Ross dalam “The Invisible Government: Pemerintah Bayangan Amerika Serikat” (2007; h. 180). Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
Awalnya, AS lewat Dubes Howard P. Jones berkilah jika Pope merupakan warganegara AS yang terlibat sebagai tentara bayaran, namun pemerintah RI mendapatkan banyak bukti jika Pope merupakan agen CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno.
“Pope bukanlah seorang tentara bayaran. Dia terbang atas perintah CIA, yang secara diam-diam mendukung para pemberontak yang mencoba menggulingkan Soekarno… Dalam konferensi pers di Jakarta, 27 Mei, yang digelar oleh Letkol Herman Pieters, Pemimpin Komando Militer Maluku dan Irian Barat di Ambon, menyatakan… 300 sampai 400 tentara AS, Filipin a, dan nasionalis Cina membantu pemberontakan itu.” (Wise & Rose; h.180)
Atas gertakan AS yang sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7nya ke perairan Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan sampai bermain api dengan Indonesia. Jangan biarkan kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya Perang Dunia Ketiga!”
Bung Karno segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya. “Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,” ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para pemberontak. (Edisi Koleksi Angkasa: Dirty War; h.48). Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas.
Soemitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan melarikan diri ke Singapura dan dari ‘Basis Israel di Asia Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno dan berusaha agar Indonesia bisa tunduk pada kepentingan kolonialisme dan imperialisme baru (Nekolim) AS.
Walau awalnya AS membantah keterlibatannya, namun setelah tidak akif lagi di Indonesia, mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145).
Upaya CIA menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara. Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia.
19 Agustus 1958, AS akhirnya mengeluarkan pengumuman resmi jika pihaknya bersedia menjual senjatanya kepada Indonesia. “Dalam waktu enam bulan, kurang lebih 21 batalyon Indonesia telah diperlengkapi dengan senjata-senjata ringan Amerika,” (Jones; h. 154)
Namun walau di permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan Amerika. Ini termuat dalam dokumentasi laporan Hugh S. Cumming, Kepala Kementerian Pertahanan dan CIA, kepada National Security Council (NSC) pada 3 September 1958. (Suar Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin; 2008; h. 331)
Senjata-senjata AS banyak yang dikirim kepada Angkatan Darat, dibanding angkatan lainnya dengan pertimbangan dari analisa agen-agen CIA bahwa elemen ini lebih bisa diajak bekerjasama dengan AS ketimbang elemen lainnya. Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang pro-AS yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’. Soemitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini. Bahkan di awal tahun 1960-an, tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini bisa mengajar di Seskoad dan menjalin komunikasi intens dengan sekelompok perwira Angkatan Darat yang memusuhi Panglima Tertinggi/Presiden Soekarno, yang diantaranya adalah Suharto yang kelak berkuasa setelah Bung Karno ditumbangkan di tahun 1965. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel David Ransom: “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts; 1971).
Untuk membangun satu kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika), AS menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang. (Suar Suroso; 2008; h. 373)
Selain militer, AS juga membangun satu kelompok elit birokrat di Universitas-Universitas AS seperti di Berkeley, MIT, Harvard, dan sebagainya, yang dikenal sebagai Mafia Berkeley. Kedua elemen ini binaan AS ini (kelompok perwira AD yang dipimpin Suharto dan kelompok birokrat yang tergabung dalam ‘Mafia Berkeley’ pimpinan Soemitro) kelak berkuasa di Indonesia setelah Soekarno ditumbangkan. Inilah cikal bakal Orde Baru (The New Order). Amerika Serikat sendiri juga dikenal sebagai pemimpin Orde Dunia Baru (The New World Order).
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno.
Sebuah memorandum CIA yang dipersiapkan untuk State Department yang dikeluarkan di Washington, 18 September 1964 berjudul Prospek Untuk Aksi Rahasia berisi 18 point, dalam point ke-16 antara lain berbunyi:
…Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah PKI dan lebih penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen non-komunis, khususnya dengan Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, bila dimungkinkan, kita harus menyerang Soekarno? Apakah tidak dapat terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di bawah syarat-syarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk meraih kekuasaan besar guna memulihkan keamanan dan ketertiban? Kita tidak ingin nampak terlalu ambisius dalam hal ini. Tapi jika kita membangun program yang didalamnya terdapat bentuk [kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan] sebagai supplement di dalam perkembangan politik jangka panjang. Penting sekali mengetahui kemana kita akan berjalan dan mampu menuntut kemungkinan segala konsekuensinya dari segala usaha kita. Saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah sekarang, tidak ada nanti…” (Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965; 2007).
Demikianlah. Sudah banyak literatur dan dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965, yang pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Suharto. Orang yang dijadikan penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik (lihat tulisan Kathy Kadane, seorang lawyer dan jurnalis State News Service, berjudul “Para Mantan Agen Berkata: CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia”; Herald Journal, 19 Mei 1990. Artikel yang sama dimuat di San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990; di Washington Post, 21 Mei 1990; dan di Boston Globe, 23 Mei 1990).
CIA memang memberi daftar kematian sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol. Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor konspiratif antara CIA dengan para ‘local army friend’.
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.
“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Dalam fase awal kekuasaannya, Jenderal Suharto didampingi oleh dua tokoh Orde Baru, sama-sama Amerikanis, yakni Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka ini dikenal sebagai Triumvirat Orde Baru.
Dalam tulisan berikutnya akan disorot jejak CIA di dalam masa kekuasaan Jenderal Suharto, di mana bukan hanya CIA yang diajak masuk ke Indonesia namun juga nantinya MOSSAD, sebagaimana telah ditulis dengan jelas di dalam Memoirnya Jenderal Soemitro yang berjudul "Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74."
Bertepatan di hari Natal, 25 Desember 1991, bendera merah dengan palu arit kuning diturunkan untuk selama-lamanya. Uni Soviet, sebuah negara dengan luas wilayah seperenam wilayah dunia pun bubar. Kehancuran Soviet diikuti dengan cepat oleh ambruknya imperium komunisme di negara-negara Eropa Timur. Situasi politik global pun berubah. Huntington di dalam Clash of Civilization menyatakan jika “bahaya merah” telah hilang dan digantikan dengan “bahaya hijau”.
Peristiwa tragis, hancurnya Soviet, yang banyak mengejutkan warga dunia sesungguhnya telah dirancang oleh Amerika Serikat jauh sebelum meletus Perang Dunia I. Pada 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson dalam program 14 pasalnya mengakui bahwa pihaknya telah merancang suatu upaya rekayasa untuk menghancurkan kekuasaan Soviet dan memecah Rusia (Vsyemirnaya Istoria 1961, VII:82)
Usaha ini terhalang oleh dua perang dunia dan setelah 1945, Marshall Plan dicanangkan dan seluruh kekuatan Kapitalisme Barat dikonsentrasikan untuk membendung dan menghancurkan komunisme. CIA melakukan ratusan bahkan ribuan operasi di berbagai negara, baik operasi terbuka maupun yang bersifat tertutup. Negara dunia ketiga menjadi sasaran utama “dekonstruksi kekuasaan” agar tunduk pada kekuatan imperialisme Barat.
Di Guatemala, Jacobo Arbenz digulingkan dan digantikan oleh Kolonel Castillo Armaz. Patrice Lumumba di Kongo digantikan Moise Tschombe dan kemudian Mobutu Sese-Seko. Di Vietnam Selatan, pemerintah yang sah dikudeta dan dinaikkanlah Nguyen Khanh. Lalu Phibul Songram di Thailand digantikan oleh Sarit Thanatah, Syngman Rhee di Korea Selatan digulingkan Jenderal Park Cung Hee, Karim Kasim di Irak digulingkan, Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja digulingkan Jenderal Lon Nol, Salvador Allende di Chile digulingkan Jenderal Augusto Pinochet, dan jangan lupa: Soekarno di Indonesia digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Suharto. Semua penggulingan kekuasaan ini didalangi oleh CIA dengan memanfaatkan “The Local Army Friend”.
Di Indonesia maupun di negara-negara dunia ketiga yang penguasanya digantikan oleh penguasa yang bisa diajak bersekutu dengan Amerika Serikat sebagai panglima blok kapitalisme dunia, lembaga-lembaga intelijennya juga bekerja demi memenuhi pesanan dari lembaga intelijen Amerika, dalam hal ini CIA.
Sayangnya, berakhirnya perang dingin di awal 1990-an ternyata tidak diikuti dengan perubahan yang berarti. CIA tetap memiliki kontrol luar biasa, tentu saja secara tertutup, terhadap kebijakan lembaga-lembaga intelijen negara proksinya seperti Indonesia. Jika dahulu dilakukan perburuan terhadap sejumlah orang dan organisasi yang dituduh komunis, maka kini dilakukan perburuan terhadap para aktivis Islam dalam operasi berkedok ‘War On Terrorism”, suatu perang berskala global yang diawali dengan merobohkan Menara Kembar WTC, 11 September 2001.
Kesatuan-kesatuan khusus lokal di sejumlah lembaga keamanan negara pun, militer maupun kepolisian, dibentuk dari, oleh, dan untuk CIA. Bahkan pelatih-pelatih atau instruktur-instruktur bagi kesatuan-kesatuan elit anti teroris ini terdiri dari para agen CIA aktif. Patut ditekankan di sini, seperti halnya wartawan, maka agen intel pun sesungguhnya tidak ada kata pensiun atau”mantan”. Jika dia “keluar” maka itu hanya bersifat sementara dan bisa dibangkitkan setiap waktu untuk mengerjakan suatu tugas. Istilahnya, Sleeping Agent.
Di Indonesia, kasus yang sangat mencolok mata yang membuka adanya hubungan erat antara aparat keamanan Indonesia dengan CIA adalah dalam kasus Al-Faruk. Orang Indonesia keturunan Arab ini ditangkap di Bogor, Jawa Barat, namun dalam waktu singkat diterbangkan diam-diam ke pangkalan militer AS di Bagram, Afghanistan.
Kasus Al-Faruk ini sesungguhnya sangat mencederai rasa kedaulatan dan harga diri bangsa ini. Mengapa Al-Faruk tidak diadili saja di wilayah hukum Indonesia. Adakah Indonesia sungguh-sungguh menjadi negara bagian ke-51 Amerika Serikat? Dan mengapa pula para konglomerat perampok yang sampai sekarang masih saja bersembunyi dengan aman di luar negeri, sekutu Amerika seperti Singapura, tidak diantarkan ke Indonesia? Mengapa kita yang harus selalu melayani mereka? Beginilah jika para pemimpin bangsa masih saja memelihara mentalitas budak, yang selalu siap sedia tunduk pada apa pun keinginan tuannya.
Di masa “Reformasi” ini, bangsa dan negara Indonesia secara de facto benar-benar sebuah bangsa yang bukan saja salah urus, namun memang tidak pernah diurus. Para pemimpinnya terlalu sibuk dengan rebutan proyek demi proyek yang didanai oleh uang rakyat. Pos-pos pajak diperbanyak, negara kian buas menyedot uang rakyatnya, dan segelintir elit bersuka ria bergotong-royong dalam permainan besar bernama The Great Corruption.
Rakyat Indonesia kebanyakan kian hari kian susah dan kian disibukkan dengan urusan sekadar mempertahanan hidup. Semua ini akhirnya membuat bangsa ini lalai terhadap perampokan diam-diam yang tengah dilakukan korporasi-korporasi asing terhadap sumber daya alam negeri bernama Indonesia. Inilah potret nyata negeri kita.